Akibat Larangan Ekspor CPO, Nilai Tukar Petani Anjlok
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan pemerintah terkait larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menyebabkan Nilai Tukar Petani (NTP) Mei 2022 anjlok sebesar 105,41 atau menurun 2,81 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun kebijakan larangan ekspor CPO tersebut sudah dicabut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ketua Departemen Pengkajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian mengatakan penurunan NTP di Bulan Mei 2022 tidak terlepas dari turunnya NTP Subsektor Perkebunan Rakyat.

"Penurunan NTP perkebunan yang selama ini tumbuh terus disebabkan dampak dari penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di berbagai sentra sawit, ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor CPO," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa, 7 Juni.

Kata Mujahid, penurunan NTP Nasional Mei 2022 disebabkan Indeks Harga yang diterima Petani (lt) turun sebesar 2,37 persen, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) mengalami kenaikan sebesar 0,46 persen.

Selain itu, lanjut Mujahid, penurunan NTP Mei 2022 juga dipengaruhi oleh turunnya dua subsektor yakni NTP subsektor Tanaman Pangan (0,32 persen); dan NTP subsektor Perkebunan Rakyat (9,29 persen). Sementara itu, tiga subsektor lainnya mengalami kenaikan yakni subsektor Hortikultura (2,75 persen); subsektor Peternakan (0,77 persen); dan subsektor Perikanan (0,26 persen).

Mengacu pada Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hari Kamis, 2 Juni 2022, terjadi penurunan lt subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 8,82 persen, sedangkan lb mengalami kenaikan sebesar 0,51 persen.

Sementara, kata Mujahid, laporan anggota SPI di beberapa wilayah seperti Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat, menyebutkan harga TBS belum kembali normal sebelum adanya kebijakan larangan ekspor CPO.

"Saat ini harga TBS di tingkat petani bervariasi mulai dari Rp1.600 hingga Rp1.800 per kg; di tingkat PKS lebih tinggi sedikit, tapi di kisaran Rp1.900 hingga Rp2.000 per kg. Kondisi menjadi semakin sulit karena di saat yang sama harga pupuk mengalami kenaikan yang tinggi, bisa dilihat dari indeks biaya produksi dan tambahan modal. Ini yang memberatkan petani perkebunan rakyat," ucapnya.

NTP subsektor lainnya yang mengalami penurunan adalah subsektor Tanaman Pangan, yang turun 0,32 persen dibandingkan bulan sebelumnya. BPS menyebutkan, kendati terjadi kenaikan lt sebesar 0,15 persen, namun masih lebih rendah dari kenaikan lb sebesar 0,93 persen.

"Jika kita amati, NTP subsektor Tanaman Pangan berada di bawah standar impas selama 3 bulan belakangan ini, hal ini tentunya mengkhawatirkan. Khusus pada bulan Mei ini, laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah menyebutkan harga gabah (GKP) relatif stabil, dan cenderung naik untuk beras," jelasnya.

Lebih lanjut, Mujahid mengatakan di beberapa wilayah seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, faktor cuaca menjadi momok. Curah hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan tanaman banyak yang lembab dan terancam gagal panen.

Sementara itu untuk NTP subsektor Hortikultura mengalami kenaikan cukup besar yakni 2,75 persen, yang diakibatkan terjadinya kenaikan lt sebesar 3,23 persen lebih tinggi dari peningkatan lb sebesar 0,46 persen

"Kenaikan subsektor Hortikultura dapat dilihat dari naiknya harga kelompok sayur-sayuran cabai, khususnya komoditas cabai merah ataupun rawit. Untuk cabai merah, kenaikan harganya cukup tinggi. Semisal di Kampar, Provinsi Riau dan Kepahiang, Provinsi Bengkulu, harga di kisaran Rp50.000 hingga Rp60.000 per kg. Sementara untuk kelompok buah-buahan, informasi dari anggota SPI di Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, menyebutkan harga nanas dan semangka justru turun," ucapnya.

Mujahid menyebutkan hal yang dicermati dari laporan BPS terkait NTP tersebut adalah kenaikan indeks harga yang dibayarkan oleh petani atau lb. Kondisi ini juga berkaitan juga dengan situasi di global, dimana sedang terjadi kenaikan harga pangan maupun energi.  Hal ini yang kemudian berpengaruh pada lt, bahwa pengeluaran petani meningkat sementara untuk penerimaan justru stagnan bahkan turun.

Lebih lanjut, Mujahid menilai hal ii sejalan dengan laporan BPS, dimana konsumsi masyarakat tumbuh 4,34 persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada kuartal I 2022. Di tingkat nasional, kenaikan harga pangan terjadi sejak awal tahun lalu. Misalnya di komoditas minyak goreng. Belum lagi pangan yang bahan bakunya tidak berasal dari dalam negeri, seperti terigu.

"Laporan dari petani SPI di peternakan dan perikanan, bulan ini berada dalam tekanan karena kenaikan harga pakan pabrikan yang bahan bakunya mengikuti harga internasional," tuturnya.

Pemerintah harus ambil kebijakan

Menurut Mujahid, pemerintah harus segera mengambil kebijakan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengatasi keadaan ini.

"Untuk jangka pendek, pemerintah harus memastikan bagaimana subsektor-subsektor pertanian yang sedang turun dapat bangkit lagi. Dalam konteks sawit misalnya, kebutuhan dalam negeri harus menjadi prioritas utama sehingga harga pangan dapat stabil," tuturnya.

Apalagi, kata Mujahid, kenaikan NTP perkebunan beberapa bulan lalu belum menjamin kenaikan pendapatan petani-petani perkebunan anggota SPI. Selain itu, pemerintah melalui BUMN juga dapat mengambil peran yang lebih sentral. Seperti yang mengurus turunan strategis produksi sawit, untuk memproduksi minyak goreng atau kepentingan strategis lainnya.

"Sementara untuk jangka panjang, SPI lagi-lagi menekankan mendesaknya prinsip-prinsip kedaulatan pangan dijadikan dasar pertanian di Indonesia. Hal ini tentu harus dimulai dari terpenuhinya hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya atas faktor-faktor produksi, (tanah dan air), akses terhadap benih lokal, akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh," ujarnya.