JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan beban biaya utang Indonesia pada 2023 akan semakin tinggi jika dibandingkan saat ini.
Hal itu dia ungkapkan ketika mewakili pemerintah dalam menyampaikan pandangan RAPBN 2023 yang disusun bersama DPR.
Menurut Menkeu, salah satu faktor pemicu kuat dari proyeksi itu adalah faktor eksternal yang berasal dari negara maju, khususnya Amerika Serikat.
"Otoritas moneter di berbagai negara mulai mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter yang cenderung agresif, terutama di Amerika Serikat (AS)," ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa 31 Mei.
Menkeu menjelaskan, beberapa langkah kebijakan yang diambil otoritas moneter di AS (The Fed) antara lain penghentian quantitative easing yang diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan, serta pengurangan balance sheet secara signifikan yang berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat.
Kombinasi itu diyakini telah mendorong peningkatan yield surat utang US Treasury dan juga berpengaruh pada negara maju lainnya.
“Ini berpotensi membuat volatilitas di pasar keuangan global meningkat, mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko yang terjadi di negara berkembang, dan membuat cost of fund (biaya dana) menjadi lebih tinggi,” tuturnya.
Lebih lanjut, bendahara negara menerangkan jika negara Paman Sam juga bakal menempuh strategi dolar kuat (strong dollar policy) untuk mengatasi inflasi di negaranya.
Alhasil, kombinasi tingginya suku bunga dan dollar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan serta meningkatnya beban pembayaran utang (debt services).
“Dengan memperhatikan bahwa kebijakan yang sama terkait penyesuaian tingkat bunga dan pengurangan balance sheet oleh The Fed yang sebelumnya juga pernah diterapkan di tahun 2018 dan berdampak cukup signifikan pada cost of fund pemerintah, maka tidak dapat dihindari potensi terjadinya kenaikan imbal hasil SBN. Peningkatan tersebut akan berdampak pada peningkatan beban bunga APBN,” jelas dia.
VOI mencatat, laporan terakhir Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa utang pemerintah pada penutupan April 2022 adalah sebesar Rp7.040,32 triliun.
Angka ini terdiri dari surat berharga negara (SBN) Rp6.228,90 triliun serta pinjaman Rp811,42 triliun.
"Pemerintah secara konsisten mengupayakan agar dapat menekan peningkatan suku bunga, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan menekan biaya utang dalam jangka panjang," sambung Menkeu.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, pemerintah pada periode 2022 merencanakan pembayaran bunga utang sebesar Rp405,86 triliun atau 20,87 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Dari nilai tersebut, Rp393,6 triliun digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan Rp12,17 triliun merupakan pembayaran bunga utang dalam luar negeri.
“Utang sebagai instrumen fiskal digunakan untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan, dengan tetap dikelola secara prudent, dan sustainable. Mitigasi risiko utang dilakukan dengan menjaga rasio utang dalam batas terkendali, menerbitkan utang secara oportunistik, hati-hati, serta terus melakukan pendalaman pasar agar cost of fund semakin efisien untuk mengurangi beban utang APBN di masa depan,” tutup Menkeu Sri Mulyani.