Bagikan:

JAKARTA - Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harus bersiap untuk membayar utang jatuh tempo dalam masa kepemimpinannya.

Adapun, berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), jatuh tempo utang per 30 April 2024 untuk periode 2025 hingga 2029 mencapai Rp3.748 triliun. Adapun dengan rincian pada tahun 2025 sebesar Rp800,33 triliun, pada 2026 sebesar Rp803,19 triliun, sementara pada tahun 2027 sebesar Rp802,61, di tahun 2028 sebesar Rp719,81 triliun dan pada tahun 2029 sebesar Rp622,3 triliun.

Sementara, posisi utang pemerintah hingga April 2024 sebesar Rp8.338,43 triliun. Sementara secara nominal, posisi utang pemerintah bertambah sebesar Rp76,33 triliun atau naik sekitar 0,92 persen jika dibandingkan dengan posisi utang pada akhir Maret 2024 yang sebesar Rp8.262,1 triliun.

Sementara, rasio utang pemerintah tersebut setara dengan 36,5 persen terhadap Produk Domestik bruto (PDB) Indonesia.

Adapun, nilai tersebut masih berada di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Bahkan, masih lebih baik dari ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2024-2027 di level 40 persen.

Sedangkan berdasarkan instrumen, utang pemerintah terdiri dari dua jenis, yakni surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Adapun mayoritas utang pemerintah pada April 2024 masih didominasi oleh instrumen SBN, yakni 32,1 persen dan sisanya pinjaman 4,4 persen.

Selanjutnya jika dirincikan, jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN mencapai Rp7.333 triliun. Adapun nilai tersebut berasal dari SBN domestik sebesar Rp5.899 triliun yaitu dari Surat Utang Negara sekitar Rp4.714 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) mencapai Rp1.185 triliun. Sementara jumlah utang pemerintah dalam bentuk pinjaman sebesar Rp1.005 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai utang jatuh tempo yang mencapai Rp800,33 triliun pada 2025 tidak jadi masalah selama kondisi APBN, ekonomi dan politik Indonesia tetap stabil

"Jatuh tempo dari utang pemerintah, ini yang sering sekali dianalisa, kalau ada pokok yang jatuh tempo risiko yang dihadapi oleh suatu negara bukan pada magnitude, tapi pada kemampuan negara tersebut melakukan revolving pada biaya yang dianggap fair," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis, 6 Juni.

Menurut Sri Mulyani ketika negara tetap kredibel, APBN baik, kondisi ekonomi baik, kondisi politik stabil sehingga suku bunga yang bergulir atau revolving itu sudah hampir dipastikan resikonya kecil karena market beranggapan negara tetap aman.

"Sehingga jatuh temponya yg terlihat di sini 2025, 2026, 2027 yang kelihatan tinggi itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN kebijakan fiskal ekonomi dan tentu politik tetap sama," jelasnya.

Menurut Sri Mulyani pemegang surat utang negara yang jatuh tempo belum tentu akan langsung mengambilnya lantaran masih dianggap sebuah investasi. Berbeda jika kondisi stabilitas ini terganggu, pemegang surat utang bisa melepasnya dan kabur dari Indonesia. Oleh sebab itu makanya kredibilitas, dan sustainable menjadi penting.

Sri Mulyani menyampaikan tingginya pembayaran utang yang jatuh tempo disebabkan oleh pandemi Covid-19. Dimana pada saat itu, Indonesia membutuhkan dana hampir Rp1.000 triliun untuk belanja tambahan karena penerimaan negara turun 19 persen karena aktivitas ekonomi berhenti.

"Jadi kalau tahun 2020 maksimal jatuh tempo dari pandemi kita di 7 tahun dan sekarang di konsentrasi, di 3 tahun terakhir 2025, 2026 dan 2027, sebagian di 8 tahun. Ini yang kemudian timbulkan persepsi kok banyak yang numpuk," katanya.

Sri Mulyani menjelaskan hal ini karena biaya pandemi dan merupakan bagian dari skema burden sharing. "Itu biaya pandemi berdasarkan agreement antara kita dan BI untuk lakukan burden sharing agar negara BI baik, fiskal kredibel dan politik acceptable, kita sepakati instrumen itu," tuturnya.