JAKARTA - Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harus bersiap untuk membayar utang jatuh tempo yang membengkak jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan data kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total anggaran belanja bunga dalam APBN 2024 sebesar Rp497,31 triliun dan telah dibayarkan pada semester I 2024 senilai Rp239,96 triliun. Sehingga bunga utang yang mesti dibayar pemerintah pada semester II 2024 sebesar Rp257,353 triliun.
Adapun, posisi utang pemerintah per akhir Mei 2024 tembus Rp8.353,02 triliun atau naik ke level 38,71 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Posisi utang pemerintah pada Mei 2024 mengalami peningkatan sebesar Rp14,59 triliun atau naik sekitar 0,17 persen jika dibandingkan pada April 2024 yang senilai Rp8.338,43 triliun atau dengan rasio 38,64 persen terhadap PDB.
Untuk diketahui, nilai tersebut masih berada di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan masih dibawah batas dari yang ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2024-2027 di level 40 persen.
Sementara jika berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 87,96 persen. Hingga akhir Mei 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar Rp7.347,50 triliun. Penerbitan ini terbagi menjadi SBN domestik yaitu sebesar 70,69 persen dan SBN valuta asing (valas) sebesar 17,27 persen.
Dalam laporan APBN KIta dirincikan, SBN Domestik sebesar Rp5.904,64 triliun yang terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp4.705,24 triliun serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp1.199,40 triliun. Sedangkan, SBN Valas sebesar Rp1.442,85 triliun dengan rincian, SUN sebesar Rp1.086,55 triliun dan SBSN senilai Rp356,30 triliun.
Selain itu, utang pemerintah tersebut ada kontribusi 12,04 persen dari utang pinjaman pemerintah hingga akhir Mei 2024 yang sebesar Rp1.005,52 triliun dengan rincian pinjaman dalam negeri sebanyak Rp36,42 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp969,10 triliun.
Adapun untuk pinjaman luar negeri, rinciannya yakni pinjaman bilateral sebesar Rp265,83 triliun, pinjaman multilateral Rp584,65 triliun, dan pinjaman commercial bank sebesar Rp118,62 triliun.
Sementara, utang jatuh tempo per 30 April 2024 untuk periode 2025 hingga 2029 mencapai Rp3.748 triliun. Adapun dengan rincian pada tahun 2025 sebesar Rp800,33 triliun, pada 2026 sebesar Rp803,19 triliun, sementara pada tahun 2027 sebesar Rp802,61, di tahun 2028 sebesar Rp719,81 triliun dan pada tahun 2029 sebesar Rp622,3 triliun.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai rasio utang pemerintah yang naik terhadap PDB meninggalkan kesan yang buruk jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Jokowi ini meninggalkan legacy buruk dalam pengelolaan hutang meskipun secara persentase terhadap PDB masih dalam angka aman menurut UU (di bawah 60 persen)," ujarnya kepada VOI, beberapa waktu lalu.
Menurut Huda utang pemerintah mengalami peningkatan signifikan setiap tahun, ditambah pada saat penanganan pandemi COVID-19 yang memerlukan anggaran cukup besar.
"Namun memang secara nominal angkanya terus meningkat secara drastis. Di tahun 2020-2022 hutang kita meningkat tajam untuk membiayai penanganan covid-19," ujarnya.
Menurut Huda jatuh tempo utang pemerintah banyak di tahun 2025 sehingga membuat di tahun depan defisit fiskal diprediksi melonjak tajam.
"Sayangnya keseimbangan primer (penerimaan negara-belanja pemerintah non pembayaran hutang) ditargetkan juga negatif. Artinya untuk membayar hutang kita juga harus berhutang," tuturnya.
Huda menyampaikan padahal dalam beberapa tahun terakhir sudah positif namun sangat disayangkan pemerintah menargetkan keseimbangan primer justru negatif.
"Dampaknya pembayaran hutang akan menumpuk, pemerintahan Prabowo akan semakin kesulitan untuk bisa mengendalikan hutang ke depan," ucapnya.
Senada, Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri menyampaikan, pertumbuhan utang pemerintah yang signifikan bisa menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Eka utang yang terlalu besar dapat menyebabkan pembayaran bunga yang tinggi, mengurangi ruang untuk alokasi dana pada sektor-sektor penting seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
"Selain itu, utang yang besar juga menimbulkan risiko meningkatnya ketidakstabilan ekonomi dan keuangan negara, terutama jika pemerintah menghadapi kesulitan dalam membayar utang tersebut," jelasnya kepada VOI beberapa waktu lalu.
Namun, Reny mengingatkan pentingnya bahwa utang pemerintah juga bisa memiliki dampak positif jika dikelola dengan baik. Utang tersebut dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan yang mendesak, yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Reny menyampaikan terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi sejauh mana utang pemerintah akan memberatkan APBN.
"Kami cukup optimis bahwa Pemerintah memiliki kemampuan dalam mengelola utang dan memastikan penggunaan dana utang yang efektif dan efisien," ucapnya.
Reny menjelaskan penggunaan dana untuk proyek pembangunan dan investasi yang menguntungkan dapat membantu meredam beban utang, sekaligus meningkatkan potensi penerimaan negara.
Selain itu, pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan fiskal yang berkelanjutan, dengan mengendalikan belanja negara dan meningkatkan penerimaan, termasuk melalui reformasi perpajakan.
Reny menyampaikan melalui kebijakan fiskal yang disiplin, pemerintah dapat membantu mengelola utang dengan lebih baik dan menjaga stabilitas APBN.
Dengan demikian, Reny menjelaskan walaupun kondisi utang pemerintah yang tinggi bisa menjadi beban bagi APBN, dengan manajemen yang baik serta pertumbuhan ekonomi yang kuat, dampak negatif dari utang tersebut dapat diminimalisir.
"Dalam konteks ini, pemerintah perlu mengambil tindakan yang tepat untuk mengelola utang dengan bijak dan menjaga stabilitas fiskal negara," imbuhnya.
Pada tahun ini, Reny menyampaikan defisit APBN masih akan terjaga di bawah 3 persen terhadap PDB jika penerimaan dan pengeluaran negara direalisasikan sesuai APBN.
Dua Opsi yang Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Bayar Utang Jatuh Tempo
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan terkait dengan utang yang jatuh tempo secara umum pemerintah memiliki 2 opsi untuk melakukan pembayaran.
Menurut Josua cara pertama, yaitu pemerintah dapat melakukan debt switch yakni pembelian kembali Surat Utang Negara yang penyelesaian transaksinya dilakukan dengan penyerahan Surat Utang Negara seri lain oleh Pemerintah.
Sementara, jika terdapat selisih nilai penyelesaian transaksinya, pemerintah dapat melakukan pembayaran tunai terhadap Surat Utang Negara tersebut.
"Alternatif kedua, mempertimbangkan utang yang jatuh tempo terutama dalam rangka penangangan pandemi akan mencapai puncaknya tahun 2026," jelasnya kepada VOI, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA:
Menurut Josua pemerintah juga perlu mempertimbangkan belanja pemerintah yang dalam skala prioritas rendah untuk ditunda pembiayaannya sehingga akan dapat mendukung terjaganya defisit fiskal dalam level yang sehat yang juga berdampak pada cost of borrowing pemerintah yang kompetitif.
Josua Pardede memperkirakan posisi cadangan devisa akan menjadi 140 miliar dolar AS hingga 142 miliar dolar AS pada akhir tahun 2024 atau turun dibandingkan pada akhir 2023 yang sebesar 146,4 miliar dolar AS.
Meski begitu, Josua menyampaikan cadangan devisa tahun ini masih akan berpeluang turun, akibat adanya risiko suku bunga kebijakan yang higher for longer.
"Kami tetap mengantisipasi terhadap risiko suku bunga kebijakan yang higher for longer dan, sebagai akibatnya, kami melihat adanya potensi penurunan cadangan devisa pada tahun 2024," jelasnya.
Josua menyampaikan bahwa risiko yang terkait dengan ketidakpastian global akan tetap menjadi perhatian utama selama semester I 2024, terutama terkait dengan sentimen risk-off di tengah suku bunga kebijakan yang higher for longer.
Menurut Josua hal tersebut dapat membatasi aliran masuk dana asing ke Indonesia sampai batas tertentu. Selain itu, turunnya surplus perdagangan akibat normalisasi harga komoditas dan melemahnya permintaan global, ditambah dengan permintaan domestik Indonesia yang kuat, akan menimbulkan risiko pelebaran defisit transaksi berjalan.
Selain itu, Josua menjelaskan faktor musiman seperti pembayaran kupon dan dividen kepada non-residen, yang biasanya mencapai puncaknya pada kuartal kedua, juga berkontribusi pada pelebaran defisit transaksi berjalan.