Bagikan:

JAKARTA - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, rasio utang pemerintah per akhir Mei 2024 sebesar Rp8.353,02 triliun atau naik ke level 38,71 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) meninggalkan kesan yang buruk jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Jokowi ini meninggalkan legacy (warisan) buruk dalam pengelolaan utang meskipun secara persentase terhadap PDB masih dalam angka aman menurut UU (di bawah 60 persen)," ujarnya kepada VOI, Rabu, 3 Juli.

Adapun posisi utang pemerintah kembali mengalami peningkatan pada Mei 2024 mencapai Rp8.353,02 triliun.

Angka tersebut bertambah Rp14,59 triliun atau naik sekitar 0,17 persen jika dibandingkan pada April 2024 yang sebesar Rp8.338,43 triliun.

Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 87,96 persen.

Hingga akhir Mei 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar Rp7.347,50 triliun.

Penerbitan ini terbagi menjadi SBN domestik yaitu sebesar 70,69 persen dan SBN valuta asing (valas) sebesar 17,27 persen.

Dalam laporan tersebut, SBN Domestik sebesar Rp5.904,64 triliun yang terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp4.705,24 triliun serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp1.199,40 triliun.

Sedangkan, SBN Valas sebesar Rp1.442,85 triliun dengan rincian, SUN sebesar Rp1.086,55 triliun dan SBSN senilai Rp356,30 triliun.

Selain itu, utang pemerintah tersebut ada kontribusi 12,04 persen dari utang pinjaman pemerintah hingga akhir Mei 2024 yang sebesar Rp1.005,52 triliun dengan rincian pinjaman dalam negeri sebanyak Rp36,42 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp969,10 triliun.

Adapun untuk pinjaman luar negeri, rinciannya yakni pinjaman bilateral sebesar Rp265,83 triliun, pinjaman multilateral Rp584,65 triliun, dan pinjaman commercial bank sebesar Rp118,62 triliun.

Menurut Huda, utang pemerintah meningkat signifikan setiap tahun, ditambah pada saat penanganan pandemi COVID-19 yang memerlukan anggaran cukup besar.

"Namun memang secara nominal angkanya terus meningkat secara drastis. Di tahun 2020-2022 utang kita meningkat tajam untuk membiayai penanganan COVID-19," ujarnya.

Sementara berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), jatuh tempo utang per 30 April 2024 untuk periode 2025 hingga 2029 mencapai Rp3.748 triliun.

Adapun dengan rincian pada tahun 2025 sebesar Rp800,33 triliun, pada 2026 sebesar Rp803,19 triliun, sementara pada tahun 2027 sebesar Rp802,61, di tahun 2028 sebesar Rp719,81 triliun dan pada tahun 2029 sebesar Rp622,3 triliun.

Menurut dia, jatuh tempo utang pemerintah banyak di tahun 2025 sehingga membuat di tahun depan defisit fiskal diprediksi melonjak tajam.

"Sayangnya kesimbangan primer (penerimaan negara-belanja pemerintah non pembayaran utang) ditargetkan juga negatif. Artinya untuk membayar utang kita juga harus berutang," tuturnya.

Huda menyampaikan, padahal dalam beberapa tahun terakhir sudah positif namun sangat disayangkan pemerintah menargetkan kesimbangan primer justru negatif.

"Dampaknya pembayaran utang akan menumpuk, pemerintahan Prabowo akan semakin kesulitan untuk bisa mengendalikan utang ke depan," ucapnya.