JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira menilai pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu sampai pada pelarangan ekspor crude palm oil (CPO). Bhima mengatakan dengan adanya kebijakan larangan ekspor CPO justru akan memunculkan aksi balas dendam dari negara lain.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan Indonesia justru akan mendapatkan protes dari calon pembeli di luar negeri. Misalnya, India, China, Pakistan yang akan memberikan respons karena mereka importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan ini.
"Biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan dan Indonesia yang disalahkan. Dalam kondisi terburuk bisa timbulkan retaliasi atau pembalasan yakni negara yang merasa dirugikan stop mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia. Fatal itu," tuturnya kepada VOI, Minggu, 24 April.
Di sisi lain, menurut Bhima, pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia sekaligus negara lain yang produksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yakni AS dan negara di Eropa.
Lebih lanjut, menurut Bhima, yang harusnya dilakukan pemerintah adalah mengembalikan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan crude palm oil (CPO) sebesar 20 persen.
BACA JUGA:
"Kemarin saat ada DMO kan isu-nya soal kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi. Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup. Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persen-nya. Sisanya mau disalurkan kemana kalau stop ekspor?," jelasnya.
Karena itu, Bhima menilai, langkah pemerintah tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Sebab, selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasan-nya lemah.
"Apakah harga minyak goreng akan turun? Belum tentu harga akan otomatis turun kalau tidak dibarengi dengan kebijakan HET di minyak goreng kemasan. Produsen juga bisa kurangi kapasitas produksi minyak goreng karena permintaan berkurang. Yang dirugikan harga TBS (tandan buah segar) di level petani akan anjlok," tuturnya
Bhima mengatakan selama satu bulan, Maret 2022 ekspor CPO nilainya 3 miliar dolar AS. Jadi estimasinya bulan Mei apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku satu bulan penuh, kehilangan devisa sebesar 3 miliar dolar AS setara Rp43 triliun akan terjadi dan angka itu setara 12 persen total ekspor non migas.
"Ini bisa ganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu. Tolong pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini. Pembisik Pak Jokowi juga jangan asal kasih saran kebijakan yang menyesatkan," katanya.