JAKARTA - Board Member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru mengatakan, pelarangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya yang dimulai pada 28 April 2022 mendistorsi pasar, merugikan petani dan mengganggu pemulihan ekonomi.
“Pelarangan ini juga akan mengganggu pemulihan ekonomi. Ekspor CPO dan turunannya bisa mencapai sekitar 10 persen total ekspor Indonesia. Dengan pelarangan ekspor, PDB kita akan turun. Dengan demikian proses pemulihan ekonomi dari hantaman COVID akan terganggu,” kata Arianto lewat keterangannya di Jakarta, Jumat 29 April.
Kebijakan itu, lanjutnya, akan mengakibatkan banjir stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan hal ini akan merugikan petani sawit.
Ia juga menekankan dampak kebijakan ini terhadap perekonomian global karena Indonesia adalah eksportir utama CPO. Berkurangnya pasokan CPO akan menyebabkan kenaikan harga CPO global, di mana hal tersebut sudah terjadi. Selanjutnya, hal itu akan menciptakan potensi adanya pengaduan ke Badan Perdagangan Dunia atau WTO dan bahkan retaliasi oleh mitra dagang.
“Ujung-ujungnya, ia memberi kesan buruk atas perilaku Indonesia dalam pergaulan internasional. Padahal, Presidensi Indonesia pada G20 adalah peluang strategis untuk mempromosikan pemulihan ekonomi global,” tambahnya dikutip Antara.
Ekonom Australian National University (ANU) itu menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini. Menurutnya, jika tujuannya mengendalikan harga minyak goreng, kebijakan yang mungkin lebih efektif adalah pajak ekspor untuk RBD palm olein.
Ia menyebut, pengenaan pajak ekspor lebih baik daripada Domestic Market Obligation (DMO), apalagi pelarangan ekspor secara total, karena memunculkan pemasukan buat negara. Sementara DMO susah diawasi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun, kalau memang harus menerapkan DMO, perlu transparansi dan pengawasan yang ketat.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan segala aspek secara seksama dalam mengeluarkan kebijakan.
Kesimpangsiuran kebijakan CPO dinilai mengurangi kepercayaan masyarakat atas kemampuan pemerintah mengambil keputusan publik. Kesimpangsiuran juga memunculkan ketidakpastian yang berdampak pada persepsi atas iklim investasi di Indonesia.