Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) serta produk minyak goreng yang akan mulai berlaku pada Kamis, 28 April mendatang.

Menanggapi hal ini, Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan produksi minyak sawit mentah dalam negeri sudah sangat memenuhi konsumsi masyarakat Indonesia tanpa harus menyetop ekpor ke luar negeri.

"Sebenarnya kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu stop ekspor. Ini kebijakan yang mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada januari 2022 lalu. Apakah masalah selesai? Kan tidak justru diprotes oleh calon pembeli diluar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," ujarnya kepada VOI, Sabtu 23 April.

Ia menilai, pelarangan ekspor justru akan menguntungkan negara tetangga seperti Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia sekaligus negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil dan sunflower oil.

"Yang harusnya dilakukan adalah cukup dengan kembali memberlakukan kebijakan DMO CPO 20 persen," imbuh Bhima.

Menurutnya, saat memberlakukan kebijakan DMO beberapa waktu lalu, yang menjadi permasalahan adalah mengenaik kepatuhan pengusaha dalam memenuhi kewajiban DMOnya yang kemudian berujung pada skandal gratifikasi, sementara pasokan 20 persen tari total ekspor CPO untuk kebutuhan dalam negeri sudah lebih dari cukup.

"Sekali lagi tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasan-nya lemah," tambah Bhima.

Ia menambahkan, dengan kebijakan pelarangan ekspor ini belum tentu akan membuat harga minyak goreng turun seperti semula jika tidak dibarengi dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada minyak goreng kemasan.

Lebih jauh ia menyebut, selama satu bulan Maret 2022, ekspor CPO Indonesia mendatangkan keuntungan senilai 3 miliar dolar AS.

"Jadi estimasinya bulan Mei apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, kehilangan devisa sebesar 3 miliar usd akan terjadi dan angka itu setara 12 persen total ekspor non migas," tambahnya.

Dengan keputusan ini, lanjutnya, dapat menghancurkan stabilitas rupiah yang selama ini telah terjaga dengan baik. Untuk itu ia meminta Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan kembali keputusan pelarangan ekspor bagi minyak sawit mentah ke luar negeri.

"Tolong Pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini. Pembisik Pak Jokowi juga jangan asal kasih saran kebijakan yang menyesatkan," pungkas Bhima.