Entah Kabar Baik atau Buruk dari Mendag Lutfi untuk Atasi Masalah Minyak Goreng: Pakai Cara Ekstrem, Buka Opsi Setop Ekspor Sawit
Menteri Perdagangan, M. Lutfi. (Foto: Dok. Kemendag)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus mencari cara untuk mengatasi permasalahan minyak goreng. Saat ini permasalahannya pun tereskalasi dari harga mahal menjadi kelangkaan komoditas tersebut. Untuk mengatasi permasalahan minyak goreng yang masih belum terselesaikan, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membuka opsi setop ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.

Pernyataan Lutfi ini merespons usulan Komisi VI DPR agar pemerintah menutup pintu ekspor untuk menjinakkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Mantan Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat ini mengatakan opsi stop ekspor selalu terbuka. Langkah ini diambil sebagai opsi terakhir jika masalah minyak goreng menjadi tak terkendali.

Artinya, pemerintah masih melihat perkembangan dari harga keekonomian minyak goreng. Jika tidak terbentuk dan pasokan tidak membanjiri pasar-pasar di Indonesia, stop ekspor adalah pilihannya.

"Kalau saya, opsi itu (stop ekspor) tidak pernah dihapus. Kalau keadaan mendesak, kita mesti suplai di dalam negeri, opsi untuk melarang (ekspor) selalu ada untuk kepentingan Indonesia," tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR, dikutip Jumat, 18 Maret.

Lutfi menjelaskan harga keekonomian belum akan tercapai dalam waktu dekat. Untuk menjamin ketersediaan CPO di pasar domestik, kata Lutfi, pemerintah pun telah menaikkan batas atas dana pungutan (DP) ekspor menjadi 1.500 dolar AS per ton.

Maksudnya, DP ekspor CPO maksimal akan mencapai 375 dolar AS per ton. Sementara sebelumnya, pungutan maksimum adalah 175 dolar AS per ton dengan batas atas 1.000 dolar AS per ton.

Adapun skema perhitungan DP ekspor adalah senilai 55 dolar AS untuk penjualan CPO senilai 750 dolar AS per ton.

"Setiap naik 50 dolar-nya mereka mesti bayar 20 dolar. Kalau harganya naik tambah lagi tuh mereka bayarnya. Jadi itu yang kita kerjakan," ucapnya.

Lutfi mengatakan, eksportir tetap akan dikenakan bea keluar sebulan 200 dolar AS per ton. Artinya, total dana yang harus dikeluarkan untuk mengirim CPO ke pasar ekspor adalah 575 dolar AS per ton.

"Mereka mesti bayar 200 dolar per ton jadi kalau dikalikan 34 juta artinya nilainya ini setara dengan 7 miliar dolar. Jadi sama dengan Rp110 triliun. Jadi ini yang mesti diberikan dari pengusaha untuk bisa disubsidi (minyak goreng curah) daripada kegiatan yang kita kerjakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia," katanya

Komisi VI usul setop ekspor

Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR Nusron Wahid mengatakan bahwa situasi saat ini diibaratkan perang. Khususnya perang melawan oknum yang memainkan harga dan ketersediaan minyak goreng.

"Situasi ini perang, yang namanya perang sudah perlu mengeluarkan bom atom. Ini pasti ada yang meninggal seperti saat menghentikan ekspor batu bara," katanya.

Jika situasi masih belum juga terkendali, Nusron meminta pemerintah dalam hal ini Menteri perdagangan Muhammad Lutfi untuk mengambil langkah ekstrem yakni memberhentikan ekspor minyak kelapa sawit.

Menurut Nusron, langkah menyetop ekspor minyak kelapa sawit diperlukan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

"Saya menduga kalau rakyat menjerit, Bapak perlu ambil keputusan ekstrem. Stop ekspor (CPO). Apa artinya kebanggaan kita melakukan ekspor dan devisa kita tinggi kalau rakyatnya menderita," ucapnya.

Menurut dia, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi perlu mempertimbangkan untuk menghentikan ekspor seperti yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat harga batu bara dunia melambung dan Indonesia krisis batu bara.

"Batu bara harganya bisa stabil sekarang ini karena di bom oleh Pak Jokowi. Sebulan dua bulan di bom larang ekspor, memang ada yang meninggal korban-korban kecil, nanti juga kelapa sawit ada yang meninggal petani-petani sawit tapi kemudian kita konsolidasi itu usul saya," tuturnya.