Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bersama jajaran eselon I mengadakan kunjungan kerja ke Provinsi Riau dalam rangka mensosialisasikan penerapan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

Dalam lawatan tersebut Menkeu mengungkapkan jika UU HKPD merupakan bentuk reformasi belanja berkualitas yang diwujudkan melalui upaya penguatan desentralisasi fiskal dengan mendorong pengalokasian sumber daya nasional secara efektif dan efisien.

“Undang-Undang HKPD diharapkan bisa mendorong transparansi pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur,” ujarnya melalui saluran daring, Jumat, 25 Maret.

Menurut Menkeu, sesuai pilar ketiga UU HKPD yaitu meningkatkan kualitas belanja daerah, dilakukan pengaturan pengelolaan belanja daerah dengan fokus belanja, mandatory spending, pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrastruktur, dan SiLPA berbasis kinerja.

“Kita berharap dengan HKPD ini belanja pusat-daerah makin harmonis dan sinkron serta pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan terpadu,” tuturnya.

Adapun, fokus belanja daerah untuk layanan dasar publik guna mencapai standar pelayanan minimal. Untuk itu, bendahara juga menyampaikan adanya mandatory spending semata bertujuan untuk akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.

“Ada mandatory spending bukan tujuannya untuk tidak memberikan kepercayaan kepada daerah. Tapi memang daerah ini tujuannya untuk melayani masyarakatnya terutama di bidang pendidikan kesehatan,” tegas dia.

Lebih lanjut, Menkeu juga menyatakan pengendalian belanja pegawai meliputi batasan besaran belanja pegawai maksimal 30 persen dari APBD tidak termasuk tunjangan guru yang berasal dari TKD. Kemudian, masa transisi penyesuaian porsi belanja pegawai yaitu lima tahun, dan fleksibilitas dalam melakukan penyesuaian pasca transisi.

“Undang-Undang HKPD juga mengatur penguatan belanja infrastruktur, yaitu melalui batasan besaran belanja infrastruktur pelayanan publik minimal 40 persen dari APBD,” katanya.

Terakhir, optimalisasi penggunaan SiLPA non-earmarked untuk belanja daerah berdasarkan kinerja pelayanan publik daerah.

“Jika kinerja layanan sudah tinggi, dapat diinvestasikan atau pembentukan dana abadi daerah. Namun jika kinerja layanan masih rendah, diarahkan untuk belanja infrastruktur pelayanan publik,” tutup Menkeu Sri Mulyani.