JAKARTA - Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai konflik Rusia-Ukraina bakal memicu kenaikan harga minyak. Bahkan dia memprediksi harga minyak mentah bisa menembus 120 sampai 130 dollar AS per barel.
"Harga minyak akan berada dikisaran tersebut seiring konflik yang semakin memanas," ujarnya kepada VOI, Minggu, 27 Februari.
Menurut Mamit, kenaikan harga ini memang akan mendatangkan keuntungan bagi Indonesia di sektor hulu. Di mana hal ini tentu berdampak pada kenaikan Indonesia Crude Price (ICP) alias minyak mentah di atas asumsi APBN 2022.
"Hal ini akan meningkatan pendapatan negara dari hulu migas baik dari PNBP maupun dari pajak lainnya," kata dia.
Untuk itu, kata dia, sudah semestinya kegiatan hulu migas di Indonesia harus ditingkatkan. Selain untuk mengejar target lifting dalam APBN, juga mengejar harga yang sedang bagus. "Harga keekonomian sedang dalam posisi yang bagus," beber Mamit.
Dengan demikian, lanjut Mamit, tenaga kerja hulu migas juga akan makin terserap, industri penunjang hulu migas juga bisa tumbuh dan kegiatan eksplorasi dan EOR bisa menjadi momentum untuk di mulai secara optimal.
BACA JUGA:
Namun demikian, kata dia, disisi lain kenaikan harga ini juga akan memberatkan di sektor hilir. "Kenaikan harga minyak yang diimbangi dengan kenaikan ICP maka akan menambah beban subsidi bagi sektor energi," kata dia.
Sebab, kata dia, harga listrik dan BBM akan meningkatkan beban subsidi. Selain itu, harga BBM umum non subsidi juga akan mengalami kenaikan.
"Perusahaan seperti Pertamina yang sampai saat ini harga Pertamax belum bisa dinaikan akan semakin tertekan keuangan mereka. Begitu juga kompensasi untuk Pertalite yang hanya 50 persen sesuai dengan Perpres 117/2021 tetap kurang membantu," pungkas Mamit.