Menelusuri Aroma Remah Cuan dalam Perseteruan Rusia - Ukraina, Ini Kata Arcandra Tahar
Presiden Rusia Vladimir Putin (Foto: Twitter @kremlinrusia_e)

Bagikan:

JAKARTA – Eskalasi ketegangan di Timur Eropa antara Rusia dan Ukraina kian memuncak. Dua negara seperibuan itu masih enggan menurunkan tensi krisis. Kondisi ini tak ayal menimbulkan kekhawatiran luas, terutama di Eropa, kalau-kalau benar peluru terlecut dari selongsongnya.

Terlepas dari intrik politik yang ada, sejatinya apa yang dipertontonkan oleh Rusia dan Ukraina tidak lebih dari upaya mereka dalam mengamankan kepentingan ekonomi. Hal tersebut dilihat jelas oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar.

Saat ini krisis politik dua negara antara Rusia dan Ukraina sangat menyita perhatian dunia. Pertikaian yang awalnya melibatkan dua negara, berpotensi menjadi krisis multidimensi dan multinegara. Salah satu dimensi yang harus kita waspadai adalah memburuknya krisis energi di Eropa yang saat ini tengah terjadi. Kenapa bisa seperti itu?” ujar dia melalui laman Instagram @arcandra.tahar pada Selasa, 8 Februari.

Menurut dia, dalam sepuluh tahun belakangan, Eropa membutuhkan gas bumi sekitar 17 TCF (triliun cubic feet) per tahun. Dari jumlah ini, sepertiga dipenuhi dari gas pipa yang berasal dari Rusia dan sisanya berasal dari impor LNG dan produksi dari negara-negara Eropa sendiri seperti Norwegia dan Belanda.

Katanya, akibat perubahan strategi perusahaan energi Eropa seperti Shell, BP dan Equinor yang beralih ke bisnis energi terbarukan maka produksi gas bumi dari Eropa menjadi berkurang. Imbasnya, impor LNG semakin meningkat dan ketergantungan gas pipa dari Rusia semakin tak terelakkan. Di sisi lain energi terbarukan yang diharapkan dapat menggantikan energi fosil, belum menunjukan performa terbaiknya.

Kenapa konflik antara Rusia dan Ukraina bisa memperparah krisis energi di Eropa? Karena lebih dari seperempat (25 persen) jalur gas pipa Rusia melewati Ukraina, sisanya lewat Belarusia, Polandia dan juga lewat laut Baltic. Dengan jalur pipa yang melewati Ukraina, Rusia akan memanfaatkannya untuk menekan balik negara-negara Eropa Barat kalau ada sanksi internasional yang dikenakan ke Rusia,” tuturnya.

Dalam kajian Arcandra, ada beberapa skenario yang mungkin akan dijalankan oleh Rusia. Pertama, gas pipa yang sudah terkontrakkan untuk dialirkan ke Eropa Barat akan dihentikan oleh Rusia dengan alasan keamanan pipa tidak terjamin di wilayah Ukraina yang sedang berkonflik.

Ini adalah strategi yang cerdas ditinjau dari sisi bisnis karena Rusia bisa terhindar dari penalti akibat cedera janji dengan tidak mengalirkan gas ke Eropa Barat,” tegas dia.

Skenario kedua, Rusia bisa saja dengan sengaja tidak mau mengalirkan seluruh gasnya ke Eropa Barat sebagai bentuk perlawanan untuk membalas sanksi internasional terhadap negaranya. Arcandra menganggap sebenarnya Rusia masih bisa mengalirkan sebagian gasnya lewat jalur pipa Belarusia dan Polandia yang berukuran lebih kecil. Dari dua skenario ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana Rusia merespon konflik dengan Ukraina.

Jika skenario pertama yang dijalankan artinya Rusia masih menghormati kontrak penyaluran gas yang sudah disepakati namun tak bisa terlaksana karena faktor keamanan. Rusia terlihat profesional dalam hal ini dan penyelesaian konflik mungkin bisa mencapai titik temu,” katanya

Jika skenario kedua yang dijalankan, maka Rusia akan terlihat emosional dan penyelesaian konflik akan menjadi susah. Rusia tentu akan berhitung juga bahwa skenario kedua akan berakibat kepada marahnya negara negara Eropa Barat karena tidak mendapatkan gas bumi yang sangat mereka butuhkan pada saat musim dingin,” tegas Arcandra.

Sayangnya, kedua skenario ini mempunyai daya rusak yang hampir sama terhadap perekonomian negara-negara Eropa Barat.

Bagaimana tidak, dengan musim dingin yang masih berlangsung dalam beberapa bulan kedepan, Eropa hanya mampu bertahan selama 6 minggu dengan cadangan LNG yang tersedia. Dalam hal ini Rusia akan merasa diatas angin,” terangnya.