Harta Konglomerat Properti di China Total Ambles Rp430,6 Triliun, Bagaimana Nasib Taipan Hui Ka Yan Pemilik Evergrande?
Pemilik Evergrande, Konglomerat Hui Ka Yan (Foto: Dok. Forbes)

Bagikan:

JAKARTA - Kekayaan para konglomerat properti di China yang selama ini mendominasi peringkat dalam daftar orang terkaya negeri Tirai Bambu, turun drastis. Hal tersebut disebabkan kampanye yang dilakukan pemerintah untuk meluncurkan reformasi properti nasional.

Mengutip Forbes, Kamis 27 Januari, kekayaan kolektif para pendiri di belakang tiga pengembang properti top negara itu menyusut 30 miliar dolar AS atau Rp430,6 triliun sejak Daftar Miliarder Dunia versi Forbes dirilis pada April tahun lalu.

Penurunan kekayaan secara drastis yang dialami oleh bos Evergrande Hui Ka Yan, Ketua Country Garden Yang Huiyan, dan pendiri Sunac China Holdings Sun Hongbin ini menunjukkan masa kejayaan pertumbuhan penjualan dan keuntungan properti China sebanyak dua digit telah berakhir. Bahkan diperkirakan akan lebih banyak kerugian yang akan mereka derita.

"Real estate mungkin akan diubah menjadi utilitas seperti layanan publik. Margin keuntungan akan dibatasi dan tidak ada yang dibolehkan menghasilkan keuntungan besar," kata Direktur Pelaksana dan Kepala Penelitian di Bocom International, Hong Hao.

Kalangan analis menilai, Presiden China Xi Jinping mengharapkan pasar properti yang relatif tenang, di mana pengembang membangun perumahan dengan harga lebih terjangkau. Karena itu, dia bertekad untuk membatasi pinjaman berlebihan di sektor ini.

Selain itu, Xi juga ingin menghentikan kenaikan harga real estat yang meroket, yang telah membebani keuangan rumah tangga rata-rata, menghalangi mereka untuk membelanjakan lebih banyak uangnya untuk bidang-bidang seperti membesarkan anak, dan memperburuk kesenjangan kekayaan yang kian melebar antara si kaya dan si miskin.

Konglomerat Hui Ka Yan menanggung beban terberat dari dampak kebijakan tersebut. Evergrande, yang pernah menjadi pengembang terbesar di negara itu berdasarkan kontrak penjualan, telah terjebak dalam krisis likuiditas setelah China menetapkan batas pinjaman dan mengeluarkan kebijakan tiga garis merah pada Agustus 2020.

Hui yang kehilangan 80 persen dari kekayaannya yang dulu senilai 42,5 miliar dolar AS pada 2017, sedang berjuang untuk membayar utangnya lebih dari 300 miliar dolar AS. Sementara hartanya saat ini tercatat 9,1 miliar dolar AS.

Awalnya, karena didorong oleh keyakinan bahwa harga perumahan akan terus naik, dan pendapatan yang diperoleh akan selalu melebihi biaya, Evergrande meminjam uang dari karyawannya, investor ritel, dan berbagai lembaga keuangan termasuk bank dan perusahaan perwalian untuk memperoleh tanah dan membangun apartemen.

Namun setelah dana mengering dan harga rumah jatuh, Evergrande menjadi bangkrut. Seluruh pasar telah melihat Evergrande mengalami gagal membayar utang.