Bagikan:

JAKARTA - Kuasa Hukum mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Afrian Bondjol mengatakan bahwa audit investigasi yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dugaan korupsi pengadaan pesawat Garuda jenis ATR 72-600 tidak jelas menyebutkan siapa pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus itu.

Namun, kata Afrian, dalam dugaan korupsi tersebut nama Emirsyah Satar justru dibuat seolah-olah yang bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat tersebut.

"Berdasarkan laporan audit investigasi BPKP atas pengadaan pesawat udara ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, tidak secara jelas menyatakan bahwa siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas dugaan tindak pidana korupsi tersebut," katanya dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin, 17 Januari.

Lebih lanjut, Afrian meminta pernyataan-pernyataan audit BPKP yang menyebutkan bahwa kasus korupsi pengadaan pesawat ATR 72-600 terjadi di bahwa kepemimpinan Emirsyah Satar harus dibuktikan terlebih dahulu.

"Karena dalam melakukan tugasnya, direksi berwenang untuk menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan UUPT dan/atau AD perseroan," jelasnya.

Afrian menilai ada penggiringan opini yang terjadi di media massa seolah-olah Emirsyah Satar yang menjadi pelaku dalam perkara tersebut. Padahal, kasus ini masih dalam tahap proses penyelidikan oleh Kejaksaan Agung.

"Kejaksaan Agung RI masih dalam tahap mencari keterangan dan barang bukti untuk melakukan pendalaman 'atas dugaan tindak pidana korupsi di tubuh Garuda dengan mengedepankan asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah', katanya.

Dijelaskan Afrian, proses pengadaan pesawat ATR 72-600 diadakan oleh PT Citilink Indonesia selaku anak usaha Garuda. Selanjutnya, PT Garuda Indonesia melakukan pengambilalihan karena pihak ATR dan lessor meminta jaminan kepada maskapai pelat merah tersebut.

Menurut Afrian, pengambilalihan pengadaan pesawat ATR 72-600 tak hanya disetujui oleh Emirsyah Satar saja selalu Direktur Utama Garuda Indonesia pada saat itu. Namun, kata dia, ada pihak lain yang juga terlibat dalam proses pengalihan pesawat itu dari Citilink Indonesia.

"Klien kami telah mendapatkan persetujuan dari rapat direksi dan dewan komisaris yang menguatkan poin pertama bahwa klien kami sangat mengedepankan prinsip-prinsip good corporate governance serta kehati-hatian sesuai dengan wewenang sebagaimana ditulis pada anggaran dasar PT Garuda Indonesia Persero Tbk dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," jelasnya.

Tak hanya itu, kata Afrian, pengadaan Pesawat ATR 72-600 situ juga merupakan murni keputusan bisnis untuk kepentingan negara Indonesia dengan mengacu pada rencana kerja anggaran perusahaan dan rencana kerja jangka panjang perseroan.

"Bahwa kebijakan pengalihan Pesawat ATR 72 603 tidak terlepas dari program pemerintah terkait masterplan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia tahun 2011-2025 MP3EI," ucapnya.