JAKARTA - Mantan Komisaris Garuda Indonesia Peter F Gontha buka-bukaan mengenai permasalahan yang dihadapi maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia. Ia mengungkap bahwa Garuda berutang ratusan miliar pada platform penjualan tiket, Traveloka.
Peter menjelaskan skema utang yang digunakan adalah Garuda menjual tiket melalui Traveloka. Kemudian, hasil penjualan tiket akan diambil oleh Traveloka sebagai bentuk pembayaran utang Garuda Indonesia.
"Jadi tiketnya sudah dipajang, jadi ke depan kalau tiket dibayar lewat Traveloka, uangnya bukan buat Garuda, buat Traveloka dan bukan Rp10-Rp20 miliar, ratusan miliar. Tapi mungkin sudah diselesaikan," ucapnya dalam diskusi di Gedung DPR, dikutip Kamis, 2 Desember.
Lebih lanjut, Peter mengatakan langkah tersebut diambil oleh manajemen Garuda, lantaran maskapai nasional itu kesulitan masalah keuangan. Peter mengaku dirinya berkeberatan dengan pinjaman yang dilakukan tersebut.
"Jadi selama ini Garuda ini tidak punya uang. Selama bulan-bulan terakhir ini dan saya sangat berkeberatan mereka pinjam uang dari Traveloka," ujarnya.
Sekadar informasi, Garuda Indonesia saat ini sedang mengalami kondisi keuangan yang sangat sulit. Awalnya, keuangan perusahaan terseok-seok dibebabkan oleh salah urus manajemen sebelumnya yang terindikasi melakukan praktik mark-up penyewaan pesawat.
Menteri BUMN Erick Thohir sejak awal menjabat sebagai menteri pada awal 2019 lalu sudah mulai bersih-bersih internal Garuda Indonesia. Hal tersebut dilakukan usai skandal penyelundupan Brompton-Harley terkuak. Namun sayangnya, bersih-bersih internal perusahaan belum bisa mengatasi penyakit kronis Garuda.
Bahkan saat ini, keadaan Garuda semakin kritis. Sebab, kondisnya diperburuk dengan adanya pandemi COVID-19 yang menekan pendapatan perseroan.
Upaya penyehatan Garuda pun sudah mulai digabungkan sejak 2020. Namun, keadaan keuangan Garuda belum membaik. Bahkan kini, Garuda memiliki utang senilai 9,7 juta dolar atau setara Rp138,5 triliun (dengan asumsi kurs dola Rp14.200).
Berdasarkan data presentasi Garuda Indonesia pada RDP dengan Komisi VI DPR pada 9 November, Garuda Indonesia menanggung utang sebanyak 9,7 juta dolar AS atau Rp138,5 triliun dan aset hanya sebesar 6,9 juta dolar AS atau Rp98,3 triliun.
Sementara itu, ekuitas Garuda Indonesia juga tercatat minus 2,8 juta dolar AS atau Rp40,2 triliun dengan tambahan negatif ekuitas tiap bulannya mencapai 100 hingga 150 juta dolar AS atau setara Rp1,3 triliun hingga Rp2 triliun.
Komponen utang Garuda terbesar yakni 66 persen atau 6.351 juta dolar AS adalah utang pada lessor. Jika dirupiahkan maka utang pada lesso ini mencapai Rp90,2 triliun. Kemudian, komposisi utang terbesar kedua adalah bank yakni 967 juta dolar AS atau setara Rp13,8 triliun. Adapun persentasenya mencapai 10 persen dari total utang.
BACA JUGA:
Kemudian, OWK, Sukuk, KIK EBA sebesar 630 juta dolar AS atau setara Rp9 triliun. Adapun jumlah ini setara dengan 10 persen dari komposisi utang Garuda. Lalu, utang vendor BUMN sebesar 595 juta dolar AS atau setara Rp8,4 triliun, dengan persentase 6 persen dari total utang.
Lalu, utang vendor swasta dengan nilai 317 juta dolar AS atau Rp4,5 triliun. Adapun persentasenya mencapai 3 persen dari komponen utang Garuda. Selanjutnya, liabilitas lainnya senilai 751 juta dolar AS atau Rp10,7 triliun, dengan persentase 8 persen dari total utang.
Karena itu, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo blak-blakan menyebut Garuda Indonesia sudah bangkrut secara teknis atau technically bankrupt. Bahkan, neraca ekuitas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah melampaui PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ia mengatakan bahwa Garuda mengalami negatif ekuitas sebesar 2,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp40 triliun.
Sekadar informasi, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tercatat memiliki ekuitas negatif mencapai Rp38,4 triliun per Desember 2020. Sementara, Garuda Indonesia per September 2021 berada pada posisi negatif 2,8 miliar dolar AS atau Rp40 triliun.
Kartika mengatakan bahwa drop-nya tingkat neraca keuangan Garuda Indonesia disebabkan juga oleh adanya pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 73 yang dilakukan perusahaan pada 2020-2021 ini yang menyebabkan dampak penurunan ekuitas semakin dalam.
"Dalam kondisi ini dalam istilah perbankan sudah technically bankrupt, tapi legally belum, ini yang sekarang saat ini kita sedang upayakan gimana keluar dari posisi ini," katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Selasa, 9 November.
Lebih lanjut, Kartika mengatakan, anggapan bangkrut tersebut karena secara praktik sebagian kewajiban Garuda Indonesia sudah tak dibayar. Bahkan, gaji pegawai pun dipangkas sejak 2020. Sedangkan untuk gaji pejabat perseroan sudah sebagian ditahan.
"Jadi kita harus pahami bersama situasi Garuda sebenarnya secara technical sudah mengalami bangkrut. Karena kewajiban-kewajiban jangka panjangnya sudah tidak ada yang dibayarkan termasuk global sukuk, termasuk himbara dan sebagainya," tuturnya.