JAKARTA - Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh mengatakan, biaya pengadaan pesawat Garuda Indonesia terlalu tinggi. Akibatnya, merugikan keuangan negara mencapai Rp8,8 triliun.
Sekadar informasi, berdasarkan hasil audit pemeriksaan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP terdapat kerugian negara senilai Rp8,8 triliun terkait pengadaan pesawat ATR 72-600 dan pesawat CRJ-1000.
"Ada 23 pesawat ini pengadaannya yang nilainya terlalu tinggi sehingga pada saat pengoperasian nya itu nilai biaya operasionalnya itu lebih tinggi daripada pendapatannya, ini yang kami hitung dari mulai thun 2011 sampai dengan 2021," ujarnya di Gedung Kejaksaan Agung RI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin, 27 Juni.
Dalam kasus ini, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar kembali ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan dan sewa pesawat oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk jenis CJR-1000 dan ATR 72-600.
Emir sendiri saat ini sedang menjalani proses hukum yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Emir ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan pesawat Garuda Indonesia bersama mitra bisnisnya Soetikno Soedarjo (SS) selaku Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, penetapan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk oleh Kejaksaan Agung merupakan bagian dari program bersih-bersih perusahaan pelat merah.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, penetapan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk oleh Kejaksaan Agung merupakan bagian dari program bersih-bersih perusahaan pelat merah.
Seperti diketahui, dua tersangka baru tersebut adalah mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo alias SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi.
"Ini adalah bukti bagaimana kita kalau mau berkolaborasi dengan baik sesama institusi pemerintah dan tentu dikelola secara profesional dan transparan kita bisa menghasilkan sesuatu yang baik untuk negara dan bangsa ini," tuturnya.
BACA JUGA:
Namun, kata Erick, program bersih-bersih BUMN ini bukan hanya melakukan penangkapan mereka yang berbuat curang. Tetapi, memperbaiki sistem bisnis perusahaan pelat merah itu sendiri.
"Karena kita tahu kalau kita bicara korupsi pasti setiap tahun terjadi tetapi kan yang penting bagaimana kita meminimalis kasus-kasus korupsi itu dengan sistem yang diperbaiki, sehingga bisa berjalan kontinu jangka panjang dan program ini bukan hanya program penangkapan. Program ini bisa menyelamatkan, merestrukturisasi dan sebuah solusi yang baik untuk kita semua," ucapnya.