Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa kebijakan larangan ekspor sementara batu bara berpotensi mengganggu sektor penerimaan negara. Pasalnya, melonjaknya harga komoditas emas hitam ini pada sepanjang 2021 memberi andil yang cukup signifikan terhadap cuan pemerintah.

"Kalaupun ada (gangguan pada penerimaan negara) itu hanya sementara," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam konferensi pers realisasi APBN 2021 di Jakarta, Senin, 3 Januari.

Menurut Febrio, langkah ini ditempuh untuk melindungi kepentingan Indonesia yang lebih besar.

"Kebijakan yang diambil pemerintah dimaksudkan untuk memastikan tidak terjadi shock bagi suplai listrik kita dan nampaknya itu bisa kita lakukan dengan sangat hati-hati," tutur dia.

Asal tahu saja, lebih dari separuh produksi listrik dalam negeri dihasilkan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bekerja melalui proses pembakaran batu bara.

Selama ini, 75 persen dari keseluruhan produksi batu bara lokal diperuntukan bagi pemenuhan pangsa pasar mancanegara alias diekspor. Sementara sisanya sebanyak 25 persen dipakai untuk kegiatan produktif di dalam negeri.

"Karena ini sifatnya sementara, maka dampaknya pada penerimaan juga diharapkan akan sementara. Jadi kita cukup nyaman dengan risiko yang ada ke depan," tegas Febrio.

Untuk diketahui, pada sepanjang 2021 terjadi lonjakan permintaan global terhadap sejumlah komoditas penting akibat proses pemilihan ekonomi. Salah satu yang menjadi primadona adalah batu bara. Malahan, komoditas ini mendapatkan apresiasi harga yang meningkat sampai dengan 100 persen.

Indonesia sebagai salah satu negara eksportir mendapatkan berkah tersendiri. Indikasi ini bisa dilihat dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sebesar Rp452 triliun pada penutupan tahun buku 2021.

Angka tersebut melesat 31,5 persen dari pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN 2021 sebesar Rp298,2 triliun.