Hidup yang Dipertaruhkan untuk Kegagalan PPKM Darurat Tak Akan Pernah Dimenangkan
Presiden Jokowi bersama jajarannya (Instagram/@jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - "Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan," tulis Fadjroel Rachman dalam kicauan Twitternya, Rabu, 14 Juli. Publik bereaksi kritis, mengaitkan unggahan itu dengan rencana perpanjangan PPKM Darurat. Konflik ini menggugah. Layak kah kehidupan masyarakat enam minggu ke depan dipertaruhkan untuk kegagalan-kegagalan pemerintah?

"Pedagang harian yang keluar buat berdagang juga tiap hari bertaruh, Pak. Apalagi sekarang. Bertaruh agar bisa kerja dan tetap sehat tidak kena COVID. So far enggak menang tuh, Pak. Malah dibentak-bentak Satpol PP. Pemerintah ngaruh sih dalam kekalahan orang-orang kecil itu. It's an unfair battle for them," tulis akun @SullyYellow menanggapi.

"Lah, dia di Istana enggak pernah bantu langsung tenaga medis di lapangan. Pernah mempertaruhkan hidup buat keselamatan orang lain?" tanya @zeronol0 pada Fadjroel.

Lainnya, @ipankptc049 berkomentar: Bung Jubir, mending update foto-foto yang Anda lagi bekerja membantu langsung tangani pandemi dibanding update foto-foto borjuis kayak gini. Jatuhnya malah banyak yang mencibir. Saya percaya Anda juga pasti banyak bekerja sesuai tupoksi Anda bersama pemerintah. Tapi pakai juga empati personal.

Kami meminta klarifikasi Fadjroel tentang maksud di balik kicauannya. Hingga artikel ini disusun, Fadjroel tak menanggapi. Yang jelas, setelah unggahan kutipan terkenal Friedrich Schiller itu Fadjroel mengunggah momennya menjalani fit n proper test sebagai Duta Besar Kazakhstan di Komisi I DPR.

Gagal?

Gagal adalah kata paling baik dan santun untuk menggambarkan situasi penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah Indonesia. Ada upaya tapi tak mencapai keberhasilan, begitu KBBI mendefinisikan kata gagal.

Bagaimana bisa dikatakan gagal? Sebab kami tak sanggup menyebut ini keberhasilan, apalagi terkendali, sebagaimana diucap Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan.

Indonesia memecahkan sejumlah rekor, mulai dari kasus harian terbanyak hingga angka kematian tertinggi dalam konteks global. Kali pertama pemecahan rekor global oleh Indonesia terjadi pada Jumat, 9 Juli.

Kala itu Indonesia memecahkan rekor kasus harian COVID-19 dengan 38.391 kasus positif. Indonesia menyalip India yang hari sebelumnya, 8 Juli catat 34.443 kasus positif. Pada Minggu, 11 Juli, Indonesia kembali pecahkan rekor. Kali ini untuk angka kematian tertinggi di dunia dengan catatan 1.007 jiwa.

Suasana di sebuah areal pemakaman khusus COVID-19 (Sumber: Antara)

Data terbaru yang dikutip dari Satgas COVID-19, Kamis, 15 Juli menunjukkan Indonesia lagi-lagi memecahkan rekornya sendiri dengan 56.757 kasus positif baru. Dengan begitu total kasus positif COVID-19 di Tanah Air mencapai 2.726.803. Dari total kasus tersebut, 70.192 di antaranya meninggal dunia.

Apa rekor-rekor penambahan kasus ini pertanda baik dari berjalannya testing dan tracing? Sayangnya tak tampak begitu. Bahkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang ditetapkan sejak 3 Juli lalu tak berdampak signifikan.

Kita lihat data pertumbuhan kasus dan variabel-variabel terkait, seperti jumlah spesimen yang diperiksa serta test positivity rate (TPR). Kita tarik kurun waktu sepuluh hari ke belakang, tepatnya 3 Juli hingga 13 Juli. Pada 3 Juli, yakni hari pertama PPKM Darurat, tercatat 14.138 kasus baru.

Kasus itu ditemukan dari 110.983 pemeriksaan. Dari angka tersebut didapatkan TPR 25,2 persen. Sementara, pada 13 Juli, ditemukan 47.899 kasus positif baru dari 159.354 pemeriksaan. TPR yang tercatat, 30 persen. TPR tumbuh sekitar 5 persen. Sementara kasus meninggal naik dua kali lipat.

Pada 3 Juli, angka kasus meninggal harian tercatat 493 jiwa. Di 13 Juli, otoritas catat 864 orang meninggal karena COVID-19. Tercatat dalam data sudah 34 provinsi dan 510 kabupaten/kota yang terjangkit virus corona. Logika di atas akan makin buruk jika kita tarik hingga data hari ini, 15 Juli.

Bertaruh enam minggu PPKM

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono menyampaikan pandangan mengenai PPKM Darurat yang sejauh ini diterapkan pemerintah. Tengok saja data, kata Pandu. "Selama angka kasus tinggi, selama kematian tinggi, itu tidak berhasil," katanya pada VOI.

"Memang apa yang sudah dilakukan pemerintah? Suruh saja lakukan yang memang belum dilakukan," begitu Pandu menjawab pertanyaan kami tentang langkah ideal apa yang perlu dilakukan untuk menjamin efektivitas PPKM jika jadi diperpanjang enam minggu ke depan.

Saat VOI menelepon, Raihan Fariz baru menyelesaikan kelas daring. Situasi makin buruk, katanya. Pemasukan Raihan berasal dari mengisi kelas gitar elektrik di jaringan sekolah musik asal Jepang. Ia juga rutin mengisi panggung sebagai session player di sebuah bar di Blok M, Jakarta Selatan.

Aktivitas-aktivitas itu telah setop sejak lama. Untuk mengajar, kegiatan tatap muka sejatinya sempat kembali beberapa waktu lalu. Tapi PPKM Darurat kembali mengandaskannya. Raihan kini tengah merencanakan kembali ke kampungnya di Tegal, Jawa Tengah.

"Gue masih belum nyerah, sih. Gue ambil banyak serabutan. Tapi kalau PPKM sampai enam minggu, kayaknya gue kelar deh ... Balik kayaknya gue ke Tegal. Belum tau juga mau jadi apa. Tapi seenggaknya di sana kan gue enggak perlu pusing bayar kontrakan rumah," tutur dia.

Salah satu titik penyekatan PPKM Darurat (Sumber: Wikimedia Commons)

Wahyu Fattah lebih dulu mengadaptasi kehidupan baru. Biro carter bis pariwisatanya hancur-hancuran sejak awal pandemi tahun lalu. Sejak itu Wahyu telah berganti dua jenis usaha berbeda. "Dulu kan sablon gue. Tapi mati. Terus akhirnya itu buka (warung) mi ayam," tuturnya pada VOI.

"Makanan awalnya gue pikir ngeri kayak bis (berisiko). Pandemi, ya kan. Tapi ternyata malah lebih hidup. Orang Alhamdulillah enggak takut kayak yang gue bayangin," katanya.

Namun, PPKM Darurat dua minggu kemarin turut menyulitkannya. Warung mi ayam Wahyu yang terletak di Perum Kranggan Raya Permai, Bekasi, Jawa Barat tak banyak dikunjungi orang. Ia mengakali kondisi ini dengan menurunkan kuantitas produksi mi mentahnya.

"Gue kan minya bikin. Ya ini gue biasanya 50, gue jadiin 30 pertama. Kemarin malah sempat 25. 20 juga pernah. Nyesuaiinnya harian," cerita Wahyu.

Soal rencana enam minggu PPKM Darurat, Raihan maupun Wahyu sama-sama berharap hal itu tak terjadi. Keduanya sadar pembatasan mobilitas perlu dilakukan. Tapi juga mustahil untuk tetap bisa makan dan memenuhi kebutuhan dasar lain jika hanya berdiam di rumah.

"Gue enggak mau ya tergantung sama pemerintah. Tapi kalau pun jadi, mau emangnya pemerintah nanggung makan gue bertiga?" tutur suami dan ayah satu anak itu.

Kapan mau patuhi UU Karantina?

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Epidemiolog FKM UI, Pandu Riono menyinggung Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU 6/2018 memuat banyak hal penting yang dapat jadi acuan kebijakan pandemi di Indonesia.

Maka menurut Pandu pemerintah harus segera mengimplementasikan UU 6/2018. Langkah pertama dapat dimulai dari pembentukan peraturan pemerintah yang didasari UU 6/2018.

Salah satu poin terpenting dari UU 6/2018 adalah bagaimana pemerintah menjamin hajat hidup setiap masyarakat secara penuh. Jaminan inilah cara paling logis untuk menghentikan mobilitas masyarakat.

"Lihat saja orang itu masih keluar rumah. Ingat kan awal PPKM (Darurat), waktu sidak-sidak ke kantor, banyak ditemui itu orang kerja. Yang lebih kasihan itu orang kecil kaitannya," tutur Pandu.

"PPKM Darurat kan bukan UU Karantina. Saya dari awal bilang suruh bikin peraturan pemerintah yang dari UU Karantina. Tanpa itu enggak bisa," tambah Pandu.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Dikutip dari situs web Sekretariat Kabinet, PPKM Darurat sendiri didasari oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali. Inmendagri ini berlaku 3-20 Juli 2021.

Sementara, UU 6/2018 justru tak mengenal istilah PPKM Darurat maupun PPKM Mikro yang sebelumnya diberlakukan. UU 6/2018 hanya mengenal empat skema, yaitu Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Rumah, dan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).

Pada dasarnya, UU 6/2018 adalah instrumen yang mengakomodir ketentuan dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Situasi kedaruratan yang dimaksud adalah kejadian kesehatan luar biasa yang salah satunya ditandai penyebaran penyakit menular. Situasi yang sudah terpenuhi.

Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman melihat PPKM Darurat ataupun PPKM Mikro sebagai jalan pintas yang diambil pemerintah untuk menghindari kewajiban memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat secara penuh. Bagaimana dengan bantuan sosial hari ini?

Bukan itu. UU 6/2018 mengamanatkan lebih. Pasal 55 UU itu berbunyi: Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Ilustrasi foto (Angga Nugraha/VOI)

Kemudian, Pasal 8 UU 6/2018 menegaskan setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lain selama karantina. Adapun kebutuhan hidup lain yang dimaksud adalah pakaian, perlengkapan mandi, cuci, dan buang air.

Setelah semua kehidupan manusia dijamin. Barulah kita bisa memikirkan sanksi. UU 6/2018 mengatur itu. Pasal 93 mengatur hukuman bagi pihak yang menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

"... dipidana dengan pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp100 juta," tertulis dalam naskah UU.

"PPKM Darurat itu kan dibuat karena memang semacam jadi shortcut. Karena UU itu banyak turunannya belum selesai. Belum tuntas, gitu. Itu sebetulnya harus diperbaiki. Harusnya segera. Akhirnya regulasi kita ini enggak bisa dipakai," tutur Dicky kepada VOI.

"Sebetulnya PSBB dan Karantina Wilayah itu sudah hasil kajian panjang. Saya terlibat juga. Hanya yang memberatkannya itu harus ada beban pemerintah untuk meng-cover biaya, beban kehidupan. Itu yang memberatkan. Terus juga belum ada pembagian peran yang belum jelas antara institusi. Ya, masih banyak bolong-bolongnya," tambah dia.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani, Wardhany Tsa Tsia, dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya