Bagikan:

JAKARTA - Sikap dan kebijakan otoritas yang seperti meremehkan COVID-19 di awal pandemi menimbulkan dampak jangka panjang. Hal ini dianggap menjadi penyebab suburnya skeptisme publik terhadap COVID-19 dan menjadi motor bagi para konspirator COVID-19 seperti Jerinx dan Lois Owien, seorang dokter yang surat tanda registrasi (STR) nya sudah kedaluwarsa sejak 2017. 

Sebelum gencar mengatakan COVID-19 tidak berbahaya dan hal konspiratif lainnya, ternyata Jerinx SID pernah ikut mengampanyekan gerakan #dirumahaja lewat Instagram. Ia juga turut menyebarkan situs kawalcorona.com, laman yang menampilkan kasus harian COVID-19. 

Menurut penelusuran indeks Google, terlihat Jerinx mengunggah kampanye tersebut pada 17 Maret 2020. Namun saat ini unggahan Instagram tersebut tak dapat diakses lantaran akun Jerinx kabarnya telah hilang. 

Hampir dalam periode bersamaan, pemerintah justru mempertontonkan hal sebaliknya. Menteri Kesehatan pada waktu itu, Terawan Agus Putranto, terlihat begitu santai dengan ancaman pandemi yang konon belum masuk Indonesia pada waktu itu. 

Kita tahu bagaimana mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menantang balik Harvard University yang memprediksi keberadaan kasus COVID-19 di Indonesia. Berbulan-bulan pemerintah Indonesia membantah keberadaan COVID-19 di Indonesia.

Segala sikap konyol ditunjukkan para pejabat Indonesia. Kami mencatatnya dalam artikel BERNAS berjudul Mencatat Sejarah tentang Respons Indonesia Hadapi COVID.

Satu bulan sebelum Jerinx ikut mengampanyekan #dirumahaja, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi berkelakar soal corona. Menurutnya, orang Indonesia memiliki kekebalan tubuh super karena gemar memakan nasi kucing.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga ikut-ikutan. Ia menyebut sulitnya perizinan investor di Indonesia turut berdampak pada sulitnya virus corona masuk ke Indonesia. 

Sikap serupa juga dipertontonkan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tatkala wartawan menanyakan dugaan virus corona di Batam. Luhut menjawab,"(Corona masuk Batam?) Hah? Mobil Corona?" kata dia. 

Mantan Menkes Terawan (Irfan Meidianto/VOI)

Memicu skeptisme publik

Memang sejak munculnya pasien 01, 02, 03, dan seterusnya, pemerintah mulai melihat ancaman nyata COVID-19. Tapi sayangnya, dampak dari memandang sebelah mata bahaya COVID-19 di awal pandemi, membawa dampak buruk sampai sekarang. Pasalnya hal ini menjadi akar masalah suburnya skeptisme publik terhadap bahaya COVID-19. 

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengafirmasi masalah itu. Menurutnya sikap dan kebijakan yang terlihat menyepelekan COVID-19 di awal pandemi membawa pengaruh signifikan di masa sekarang. 

"Pengaruhnya signifikan... Kalau masyarakat skeptis, akibat dari itu. Akibat (pernyataan) corona, komunitas rondo-rondo mempesona, itu resmi Terawan yang ngomong," kata Trubus kepada VOI

"Ada yang menganggap penyakit biasa, ada yang menganggap corona enggak masuk Indonesia karena negaranya tropis. Itu Pak Luhut yang ngomong," tambahnya. 

Memotori konspirator

Hal ini kata Trubus turut menjadi motor munculnya para konspirator-konspirator semacam Jerinx dan Lois. Lois tersangkut kasus dugaan penyebaran berita bohong karena mendustakan COVID-19. 

Dalam wawancaranya dengan salah seorang Youtuber Babeh Aldo, Lois menjelaskan hal yang ia anggap janggal tentang COVID-19. Pertama ia mempersoalkan terkait diagnosa dari pasien COVID-19 yang menurutnya bergantung kepada alat semata. 

"Ini aneh, pandemi lucu-lucuan. orang sehat dikejar-kejar, diurusin, dicari pakai alat, begitu alat bilang positif, anda terpapar virus. Tapi orang yang sakit di rumah sakit ditelantarkan, harus nunggu dulu apa kata alat. Coba, di mana otaknya?" kata dia. 

Dokter Lois Owien (Instagram/LoisOwien)

Selain itu ia juga menyebut pasien COVID-19 yang mengalami penurunan saturasi oksigen itu akibat dari adanya interaksi antar obat. "Ini penyakit bukan virus, bakteri, kemudian dikasi obat azithromycin golongan macrolite bekerja langsung ke jantung, kemudian obat antivirus, kemudian dikasih dexamethason, ini kan golongan kortikosteroid yang menekan imun. Jadi imunitas kita diteken, dihajar antibiotik sama antivirus, kalau saturasi O2 turun jangan fitnah virus dong."

Dan terakhir kata Lois, pandemi atau ia menyebutnya plandemi, ujung-ujungnya adalah untuk jualan vaksin. "Namanya pandemi dengan nama virus yang dipatenkan kalau menurut saya itu tujuan akhirnya pasti apa? Vaksin."

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pukovisa Prawiroharjo menilai pernyataan-pernyataan Lois seperti dijelaskan tersebut secara umum tidak berdasar. "Secara umum klaim hal tersebut tidak ada/lemah dasar ilmiahnya," kata dia kepada VOI

Sebelumnya ia juga mengatakan pernyataan-pernyataan Lois membahayakan program penanggulangan pandemi sehingga diduga melanggar kode etik kedokteran. Karenanya, MKEK sempat memanggil Lois untuk memberikan penjelasan terkait pernyataannya. Tapi belakangan, kasusnya diambil alih Bareskrim Polri. 

Meski tak ditahan status Lois masih tersangka. Polisi memutuskan tak menahan Lois karena dianggap kooperatif. 

Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat mereka yang tak percaya adanya COVID-19 seperti Jerinx dan Lois merupakan hasil dari kegagalan edukasi COVID-19 oleh otoritas. "Itu jadi motornya Jerinx, Lois, dan sederet orang yang suka bikin hoaks itu. Semuanya adalah produk dari bahasa kebijakan publiknya, oposisi biner."

Kemunculan konspirator seperti mereka kata Trubus, sebagai lawan dari yang mengatakan kalau COVID-19 itu memang bisa dibuktikan secara ilmiah. "Mereka yang enggak percaya itu sebetulnya produk gagal dari pemahaman edukasi COVID-19."

Trubus mengatakan sebenarnya kalau kebijakan yang dibuat pemerintah itu konsisten, maka masyarakat akan mengikuti. "Tapi kalau inkonsisten, masyarakatnya juga masa bodo," kata dia.  

*Baca informasi lain tentang COVID-19 atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya