JAKARTA – Demokrasi Indonesia disebut sedang tidak baik-baik saja karena adanya bayang-bayang ancaman politik dinasti, oligarki, dan erosi demokrasi. Tapi di sisi lain, resiliensi masyarakat menjadi harapan bahwa Indonesia tidak akan kembali ke otoritarian Orde Baru. Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dalam situasi sulit.
Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) sempat menyebut Pemilu 2024 sebagai pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia setelah pemilu 1955. Bukan tanpa sebab JK melontarkan pernyataan tersebut.
Ia menduga ada kecurangan sistematis pada Pemilu 2024, yang dimenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang melibatkan penguasa.
"Bagi saya pernah mengatakan ini adalah pemilu yang terburuk dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1955, artinya adalah demokrasi pemilu yang kemudian diatur oleh minoritas, artinya orang yang mampu, orang pemerintahan, oleh orang yang punya uang," kata JK saat memberikan sambutan di acara diskusi "Konsolidasi untuk Demokrasi Pasca Pemilu 2024: Oposisi atau Koalisi" yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis, 7 Maret 2024.
Sinyal Erosi Demokrasi
Proses demokratisasi di Indonesia terus mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh sejumlah riset terdahulu yang menunjukkan bahwa salah satu ciri signifikan yang menandai erosi demokrasi adalah ketika pemimpin terpilih melakukan rekayasa atas platform dan aturan main demokrasi yang sudah disepakati sebelumnya, termasuk melakukan rekayasa kompetisi elektoral melalui mekanisme dan hukum.
Alih-alih mendorong reformasi kelembagaan, para pemimpin yang dipilih secara demokratis kerap menggunakan popularitas mereka untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang seiring dengan berjalannya waktu justru menghancurkan sistem checks and balances, menghambat pemilu yang bebas dan adil, serta melemahkan kebebasan sipil.
Mereka juga kerap menyalahgunakan dan melemahkan norma dan institusi demokrasi, sehingga sistem demokrasi menjadi tidak efektif, hanya menjadi alat dan prosedur formal untuk berkuasa. Beberapa bulan sebelum hari pencoblosan, publik dikejutkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan batas usia pencalonan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024.
MK mengabulkan judicial review atau uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Almas Tsaqibirru ReA meminta MK mengubah syarat pencalonan Capres dan Cawapres menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan demikian, MK memastikan seseorang berusia di bawah 40 tahun tetap bisa dicalonkan sebagai capres dan cawapres, dengan syarat berpengalaman menjabat sebagai pejabat hasil pemilu atau pilkada.
Sesaat setelah putusan dibacakan, seluruh mata tertuju pada nama Gibran Rakabuming Raka. Para pengamat dan hampir semua masyarakat sepakat bahwa putusan MK bernuansa politis dan secara vulgar memihak kepentingan keluarga Presiden Jokowi.
Begitu Gibran akhirnya resmi diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mendampingi Prabowo Subianto, peristiwa-peristiwa berikutnya menjadi perhatian. Presiden Jokowi dan menteri-menteri yang tergabung dalam tim kampanye dinilai makin masif menggunakan program bantuan sosial alias bansos sebagai alat kampanye pendongkrak suara.
Tidak berhenti sampai di situ, jelang Pilkada Serentak pada November 2024, perilaku manipulatif juga berulang kali muncul dari aktor-aktor elektoral, yang berpotensi mempersempit arena kontestasi yang adil dan setara, serta menghambat partispasi politik masyarakat. Upaya Badan Lesgilasi (Baleg) DPR berencana menganulir putusan MK mengenai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold serta syarat batas minimal calon kepala daerah adalah bukti terkini yang menunjukkan adanya upaya manipulasi secara serius dan sistematis dilakukan elite-elite politik.
Padahal putusan MK kali ini dinilai sebagai sebuah angin segar bagi demokrasi Indonesia. Wacana DPR mengesahkan RUU Pilkada langsung mendapat penolakan dari hampir semua lapisan masyarakat. Demonstrasi terjadi di berbagai daerah, termasuk di kawasan Gedung DPR/MPR RI.
Demokrasi Indonesia Mengkhawatirkan
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI) Hurriyah menuturkan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini memang bukan situasi yang khas. Dia berujar, situasi demokrasi Indonesia hari ini mengkhawatirkan dalam berbagai aspek.
“Kalau kita bayangkan perjalanan panjang reformasi politik dan hukum sejak 1998, di 2024 seolah-olah meruntuhkan semua pencapaian,” kata Hurriyah dalam acara diskusi publik bertajuk "Ancaman terhadap Demokrasi di Indonesia: Belajar dari Pengalaman di Negara-negara Asia Tenggara".
“Karena yang terjadi adalah pencapaian reformasi hukum saat ini ternyata justru menjadi legal otokratisme. Bagaimana pemerintah menggunakan mekanisme, prosedur, cara-cara legal untuk memanipulasi demokrasi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Hurriyah mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki sistem pemilu yang baik, dengan pemilihan secara langsung, memiliki sistem multipartai, ada mekanisme check and balances, dan sebaiknya. Tapi meski demokrasi elektoral seolah-olah ajeg, ketika kalau bicara substansinya, values-nya, demokrasi ternyata tidak dijadikan the only game in town atau satu-satunya hal yang terpenting.
Bicara soal ancaman terhadap demokrasi, situasi serupa juga terjadi di beberapa negara sekitar Indonesia, khususnya Asia Tenggara. Menguatnya isu populisme dan politisasi identitas menjadi salah satu perbincangan serius bagi para ilmuwan politik di Asia Tenggara yang melihat ini sebagai salah satu ancaman demokrasi di wilayah ini.
Setidaknya ada tiga negara yang memiliki kesamaan, yaitu, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Ketiga negara tersebut mengalami kemunduran demokrasi pada 2014 dengan tergulingnya pemerintahan Thaksin Shinawarta di Thailand, bangkitnya Rodrigo Duterte yang populis otoriter di Filipina pada 2016, dan menguatnya dinasti politik pada masa pemerintahan Jokowi di Indonesia.
Selain negara Asia Tenggara, Hurriyah, yang mengutip survei Economist Intelligence Unit, menyebut secara global hanya delapan persen negara yang berkategori demokrasi penuh. Bahkan negara besar seperti Amerika Serikat dan beberapa di Eropa juga mengalami kesulitan mempertahankan demokrasi.
“Jadi ini memang fenomena global. Ancaman demokrasi dari para pemimpin otokratik tidak hanya terjadi di negara demokrasi baru seperti Indonesia, tapi juga di negara yang demokrasinya sudah mapan,” tegasnya.
BACA JUGA:
Hurriyah mengatakan, terjadinya penurunan demokrasi sebenarnya sudah terlihat sejak 2019, ketika ada upaya mempersempit ruang demokrasi di level elite. Meski begitu, ia cukup lega karena di tengah situasi demokrasi yang mengalami penurunan, masyarakat masih mampu melawan meski perjuangan ini cukup kesulitan.
Demonstrasi mengecam rencana DPR mengesahkan RUU Pilkada beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa perlawanan dari berbagai elemen masyarakat masih terus dilakukan.
“Resiliensi inilah yang membuat kita bisa memastikan bahwa Indonesa walaupun alami penurunan, tidak akan kembali ke masa otoritarian Orde Baru,” tuturnya.