Sejarah Kampanye Penuh Darah Pemilu 1997
Kuburan massal korban Jumat Kelabu, kerusuhan kampanye Pemilu 1997 pada 23 Mei di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Kerusuhan dalam kampanye menjelang Pemilu di Indonesia adalah hal jamak. Namun rusuh yang terjadi dalam beberapa kampanye partai politik kontestan Pemilu 1997 menjadi luar biasa, karena penuh darah dan menelan banyak korban jiwa.

Pemilu 1997 yang digelar pada 29 Mei menjadi hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Soeharto. Pemilu tersebut adalah yang keenam digelar, di bawah rezim Orde Baru setelah sebelumnya 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pada Pemilu 1997 Orde Baru lewat mesin politik mereka, Golkar, berusaha bangkit setelah kehilangan banyak suara di 1992.

Pemilu 1997 tetap memilih anggota legislatif. Diikuti tiga kontestan: Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan jumlah pemilih total 112.991.150.

B.J Habibie menjadi jurkam Golkar dalam kampanye Pemilu 1997. (Wikimedia Commons)

Hasil akhir menunjukkan Golkar menang telak dengan 84.187.907 suara atau 74,51 persen. PPP berada di urutan kedua dengan jumlah suara 25.350.028 atau 22,43 persen. PDI seperti yang sudah-sudah berada di urutan buncit dengan raihan suara hanya 3.463.225, atau 3,06 persen.

Satu catatan buruk menjelang pelaksanaan Pemilu 1997 adalah kerusuhan Sabtu 27 Juli 1996, atau yang dikenal sebagai Kudeta 27 Juli (Kudatuli). Peristiwa ini berupa serangan pasukan pemerintah Indonesia terhadap kantor pusat PDI di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat.

Serangan tersebut dilatarbelakangi rekayasa Kongres PDI di Medan yang didalangi pemerintah pimpinan Presiden Soeharto, untuk menggulingkan Megawati Soekarnoputri yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Orde Baru ingin kembali mendudukan Soerjadi sebagai ketua umum partai berlambang kepala banteng dalam segi lima tersebut.

Pemerintah Kurang Demokratis

Praktek demokrasi dikembangkan seharusnya untuk mencegah kekerasan politik pada masyarakat. Pelembagaan demokrasi seperti pelaksanaan Pemilu, diidealkan untuk mencegah kekerasan politik.

Pengalaman dalam negara-negara maju di Eropa atau Amerika Serikat misalnya, jika demokrasi dijalankan maka kekerasan politik dalam negeri sangat jarang terjadi. Namun di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya.

Kekerasan politik justru menjadi hantu bagi pelaksaan demokrasi. Kesulitan dari pemerintah negara dunia ketiga untuk mempraktikkan demokrasi. Hambatan struktural dari rezim yang berkuasa, justru membuat kekerasan politik mudah terjadi. Pada tahun 1997 Indonesia sudah berusaha mempraktikkan demokrasi selama 52 tahun, namun belum berhasil dilakoni secara benar.

Kerusuhan Kudatuli, perebutan Kantor Pusat PDI di Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996. (Wikimedia Commons)

“Sejak merdeka, lndonesia telah mempraktikkan tujuh kali pemiliham umum. Enam dari tujuh Pemilu tersebut diselenggarakan di bawah pemerintahan Orde Baru. Namun demikian kita menyaksikan bahwa demokrasi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan dikhawatirkan sekarang ini demokrasi di Indonesia mengalami paradoks; di satu sisi Pemilu diselenggarakan, di sisi lain justru menyemarakkan munculnya kekerasan politik di masyarakat,” tulis Lambang Trijono, dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dalam laporan penelitian Paradoks Demokrasi di Indonesia: Kerusuhan pada Masa Kampanye 1997.

Dalam masa kampanye Pemilu 1997 yang bedurasi sekitar 30 hari, Lambang mencatat terjadi 28 kali kasus kekerasan politik. Lebih menyedihkan lagi, sebanyak ratusan korban meninggal dunia dalam kerusuhan selama kampanye Pemilu 1997.

Lambang berkesimpulan bahwa terdapat kesalahan dalam mempraktikkan demokrasi di Indonesia. Harapan untuk menjadikan demokrasi sebagai alat pencegah kekerasan politik, justru tidak terjadi.

Tiga Kerusuhan Besar

Dari 28 kerusuhan yang terjadi selama masa kampanye Pemilu 1997, tercatat tiga peristiwa yang mengakibatkan kerugian besar. Pertama ada kerusuhan yang terjadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Kerusuhan terjadi berulang-ulang dalam skala kecil, dengan dua terbesar pada 24 dan 26 Maret.

Pemicunya adalah niatan Golkar untuk “menguningkan” Pekalongan yang dikenal sebagai basis PPP. Kerusuhan ini sebenarnya terjadi sebelum masa kampanye resmi, namun karena suhu politik sudah memanas maka kampanye-kampanye “colongan” dimungkinkan terjadi.

Konflik 24 Maret dipicu pelarangan pemasangan atribut bendera PPP oleh aparat Pemda Pekalongan karena belum masa kampanye. Namun mereka justru membiarkan bendera Golkar tetap berkibar, dengan alasan bakal ada pejabat yang datang.

Kerusuhan membesar pada 26 Maret ketika Golkar mendatangkan dua tokoh, Rhoma Irama dan Zainuddin M.Z untuk kegiatan dakwah. Massa memblokir jalan raya untuk menghadang kedua tokoh agama yang diusung Golkar tersebut. Kerusuhan itu tidak menimbulkan korban jiwa, namun gedung-gedung dan rumah penduduk dihancurkan, 7 orang terluka dan 17 lainnya ditahan.

Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelang Pemilu 1997. (Wikimedia Commons)

Kerusuhan di Jakarta pada 18 Mei 1997 juga melibatkan massa Golkar dan PPP. Ini kerusuhan terbesar di Jakarta selama masa kampanye Pemilu 1997, karena terjadi di seluruh penjuru Ibu Kota. Pemicunya hal sepele, karena massa tidak mengikuti ajakan acungan dua jari dari massa Golkar yang sedang berkonvoi.

Bentrok terbuka tak terelakkan. Kantor-kantor pemerintah, kantor polisi, bank, serta toko-toko dibakar. Banyak korban luka akibat bentrokan terbuka ini, dan menewaskan satu orang.

Kerusuhan terbesar terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada Jumat 23 Mei 1997. Tanggal itu adalah hari terakhir masa kampanye, ketika arak-arakan massa Golkar melewati Masjid Annur. Konvoi dilakukan menggunakan sepeda motor dengan knalpot brong yang bersuara keras, padahal saat itu sedang dilakukan shalat Jumat.

Seusai shalat Jumat, massa berkumpul untuk membalas perlakukan pendukung Golkar. Laporan Kompas pada 31 Mei 1997 berjudul Kampanye Digelar Nyawapun Melayang meyebutkan, massa yang terlibat penyerangan terhadap Golkar mencapai 50 ribu orang.

Tak pelak banyak gedung hancur lebur, mulai rumah, kantor, pusat pertokoan, gedung bioskop, hotel, restoran, hingga sekolah. Banyak kendaraan bermotor dihancurkan. Hal yang paling membuat miris, tercatat 123 orang meninggal dunia dan 113 luka ringan maupun berat.

Menurut profesor ilmu politik asal AS, Rudolph Joseph Rummel dalam tulisan Democracy, Power, Genocide, and Mass Murder, Journal of Conflict Resolution, biang dari segala kerusuhan politik dalam negara demokrasi adalah: ketidakmampuan lembaga demokrasi bekerja efektif mengatasi konflik sosial dalam masyarakat.

Persis dengan kondisi Indonesia dengan pemerintah saat itu yang bersifat semirepresif. Setelah puluhan tahun hak politik masyarakat dikebiri, maka langsung meledak saat kesempatan sedikit dibuka.