JAKARTA – Pilpres 2019 bakal selalu diingat karena satu hal yang kocak, bahkan boleh disebut konyol, yaitu deklarasi kemenangan oleh Prabowo Subianto yang saat itu bersaing melawan Joko Widodo. Tercatat tiga kali Prabowo mendeklarasikan diri sebagai pemenang, masing-masing pada 17 April, 18 April, dan 22 April.
Klaim kemenangan Prabowo tersebut didasarkan pada tiga patokan penghitungan suara, yaitu quick count, exit poll, dan real count. Ketiganya dilakukan oleh tim internal Sang Capres yang diusung Partai Gerindra tersebut. Dari hasil penghitungan tersebut, Prabowo lantas mendeklarasikan diri sebagai presiden terpilih.
“Saya akan dan sudah menjadi presiden seluruh rakyat Indonesia,” kata Prabowo di markas tim pemenangannya, Jl. Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu malam, 17 April 2019.
Prabowo berorasi di atas panggung berkarpet merah, yang dipasang di halaman rumah peninggalan orang tuanya, Soemitro Djojohadikusumo. Prabowo menambahkan bahwa keyakinannya didasarkan pada hasil penghitungan real count oleh timnya, di 320 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dalam klaimnya, dia menyebutkan angka kemenangan fantastis, 62 persen!
Orang-orang di sekitar Prabowo yang disebutnya sebagai ahli statistik berhasil meyakinkan dirinya sebagai pemenang Pilpres 2019.
“Angka itu tidak akan berubah banyak. Paling naik-turun hanya satu persen saja,” kata Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Sandiaga Uno, seperti dikutip Tempo.
Hasil Penghitungan Akhir
Di sisi lain, lembaga-lembaga survei justru menyatakan bahwa kemenangan ada di pihak Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Prabowo Subianto menafikan hasil tersebut, dan menyebutkan bahwa itu hanya psywar, perang urat syaraf yang dilancarkan kubu lawan.
“Ini hanya sekedar untuk menjatuhkan moral pendukung kita dan menerima kenyataan bahwa mereka menang,” kata Prabowo, yang juga menuding bahwa media ikut membesar-besarkan kabar kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
Prabowo juga mengatakan akan melancarkan people power, dengan mengerahkan sejuta orang untuk berdemonstrasi di depan Istana Negara. Politikus Rizal Ramli, Amien Rais (PAN), Yusuf Muhammad Martak (Ketua GNPF Ulama), Salim Segaf Al Jufri (PKS), dan Bachtiar Natsir (Mantan Ketua GNPF Ulama/Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama) adalah beberapa nama yang ikut mengompori niatan Prabowo.
Untunglah niatan people power tersebut urung terjadi. Hasil akhir Pilpres yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang dengan raihan 84.654.894 suara, atau 55,32 persen. Sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih 68.359.086 suara, atau 44,68 persen.
Kompleksitas Pemilu 2019
Sebuah lembaga kajian dari Australia, Lowy Institute, menyebutkan bahwa Pemilu 2019 di Indonesia merupakan yang paling ruwet di dunia. Tidak hanya karena skalanya yang besar, namun juga karena digelar hanya dalam satu hari.
Saat itu ada 193 juta pemilih, dan angka tersebut merupakan yang terbesar di dunia dalam urusan pemilihan presiden secara langsung. Dibandingkan Pemilu 2014, angka itu melonjak sebanyak 2,4 juta orang.
Pemilihan dilakukan di 809.500 TPS, yang berarti setiap TPS harus melayani 200-300 orang di hari pencoblosan. Ada lima pemilihan yang harus dilakukan bersamaan, yaitu Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Lowy Institute membandingkan pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia dengan di India, yang juga digelar pada April. Pemilu India diikuti jauh lebih banyak pemilih, yang mencapai 930 juta orang. Hanya saja Pemilu di India digelar selama sebulan lebih, mulai 11 April-19 Mei.
Penyelenggaraan Pemilu India juga secara bergantian di 28 negara bagian dan 8 wilayah persatuan. Jika di Indonesia pada Pemilu 2019 diikuti 16 partai, di India 450 partai! Biaya Pemilu 2019 di Indonesia mencapai Rp24,8 triliun, sedangkan di India empat kali lebih besar.
Ada enam juta petugas pengawas dan pelaksana Pemilu 2019 di Indonesia, dibandingkan India yang mencapai 10 juta petugas. Satu hal yang menjadi kesamaan adalah, Pemilu 2019 di Indonesia dan India dilaksanakan secara manual. Berbeda dengan Pemilu di beberapa negara lain yang digelar lewat e-voting, di Indonesia dan India masih menggunakan paku sebagai alat coblos.
Meskipun masih terkesan terbelakang, namun Lowy Institute melontarkan pujian bahwa Pemilu di Indonesia dan India mampu digelar secara efisien. Padahal diketahui bahwa sinergi birokrasi di kedua negara masih lemah, namun mampu menyelesaikan pesta demokrasi yang sangat ruwet dan kompleks.