Memori Kelam Pemilu 2019 yang Memakan Korban Jiwa 894 Petugas KPPS
Warga menunggu hasil penghitungan suara Pemilu 2019 di sebuah TPS yang dibangun pada sebuah area pemakaman di Jakarta. (Antara/Wahyu Putro A)

Bagikan:

JAKARTA – Pemilu 2019 yang diikuti 193 juta pemilih menjadi salah satu memori buruk bagi Indonesia. Penyebabnya tidak lain karena hajatan lima tahunan ini harus memakan korban 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia.

Pemilu 2019 digelar secara serentak pada Rabu 17 April. Sebanyak 193 juta pemilih di seluruh pelosok negeri berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk melaksanakan hak politik mereka. Mereka harus memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota.

Ada 809.500 TPS yang dibuat untuk melaksanakan gelaran Pemilu 2019. Anggaran total pergelaran mencapai Rp24,8 triliun. Dunia mengakui bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum terbesar yang pernah digelar, dalam hal pemilihan presiden secara langsung.

Ketua KPU, Arief Budiman bersama Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam acara debat Capres menjelang Pemilu 2019 di Hotel Shangrila, Jakarta pada 30 Maret 2019. (Antara/Hafidz Mubarak A)

Meskipun dinilai sukses besar, Pemilu 2019 juga menyimpan sejarah kelam. Penyebabnya tak lain karena hajatan akbar ini menyebabkan 894 petugas KPPS meninggal dunia. Selain itu lebih dari 11 ribu petugas juga terkapar sakit karena kelelahan usai menjalankan tugas, yang harus dilakukan secara spartan dalam waktu lebih dari 24 jam!

“Desain Pemilu 2019 memang berat. Tahapan-tahapan Pemilu harus tepat waktu. Dan satu-satunya kegiatan yang tahapannya diatur ketat adalah Pemilu,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat itu, Arief Budiman dalam diskusi Silent Killer Pemilu Serentak 2019, di Jakarta pada Sabtu 27 April 2019.

Menurut dia, beban kerja yang sangat berat menjadi penyebab banyak petugas KPPS yang jatuh sakit, bahkan meninggal dunia.

Ketua KPU, Arief Budiman menyerahkan santunan kepada petugas KPPS yang meninggal dunia dalam pelaksanaan Pemilu 2019 di Tamansari, Jakarta Barat pada Jumat (3/5/2019). (Antara/Aditya Pradana Putra)

“Ini yang banyak dijadikan diskusi publik tentang jumlah petugas yang meninggal dan petugas yang sakit. Kami sudah menyelesaikan tugas dan tanggung jawab kita,” kata Arief lagi dalam kesempatan lain, acara Refleksi Hasil Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan Persiapan Penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2020 di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020).

Ketika Pemilu 2019 digelar, Indonesia baru memiliki 29 provinsi. Pemilu digelar di 28 provinsi. Kalimantan Utara sebagai provinsi terbaru saat itu, belum mendapatkan kesempatan menggelar Pemilu. Korban sakit maupun meninggal tersebar di seluruh provinsi peserta, dengan jumlah korban terbanyak tercatat di Jawa Barat.

Isu Soal Racun

Tak urung tragedi kelam Pemilu 2019 diikuti berbagai isu miring. Isu yang banyak dimunculkan di media sosial adalah, kematian para petugas KPPS disebabkan karena racun.

Persaingan antara kubu inkumben Joko Widodo- Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai kontestan saat itu memang sangat panas. Tak heran jika lantas berseliweran isu-isu yang tak dapat dipertanggung jawabkan, mulai dari kecurangan hingga kematian.

Namun isu tersebut terbantahkan, setelah berbagai pihak melakukan penelitian tentang penyebab kematian massal usai Pemilu 2019. Salah satu yang diungkapkan Arief adalah hasil penelitian Dinas Kesehatan DKI Jakarta, yang diberikan ke KPU.

“Kejadian meninggal dunia ini disebabkan oleh hal-hal yang wajar. Misalnya menderita penyakit jantung atau diabetes. Karena beban pekerjaan yang banyak sekali, lantas lupa minum obat,” kata Arief.

Salah satu saudara keluarga sedang memperlihatkan foto almarhum Ketua KPPS TPS 20 Nusukan, Alek Robikson di rumah duka Kampung Praon RT07/RW07 Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jateng, Sabtu (27/4) 2019. (Antara/Bambang Dwi Marwoto)

Penelitian penyebab kematian petugas KPPS juga dilakukan oleh Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada. Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, penelitian dengan sampel dari 12 TPS di Yogyakarta  tersebut menemukan fakta bahwa rentang usia korban meninggal adalah 46-67 tahun.

Kebanyakan korban meninggal berjenis kelamin laki-laki, dan hampir seluruhnya merupakan perokok aktif. Penelitian tersebut bersifat verbal, dengan menanyakan aktivitas 24 terakhir dari para korban meninggal di Yogyakarta.

Kesimpulan yang didapatkan adalah, para petugas tersebut mengalami kelelahan akut akibat beban kerja yang sangat berat. Kelelahan yang sangat tersebut, memicu penyakit bawaan muncul ke permukaan.

Para peneliti berkeyakinan bahwa para petugas KPPS yang meninggal dunia memang sudah memiliki masalah kesehatan. Lantaran beban kerja berat, penyakit-penyakit mereka muncul dengan sangat cepat. Selain itu, hoaks yang benyak bermunculan menjelang dan selama Pemilu 2019 ikut menambah beban pikiran dan membuat stres para korban.

Penelitian dari UGM tersebut juga menemukan fakta yang mengejutkan. Ternyata TPS yang dikelola petugas perempuan ternyata lebih efektif. Petuga KPPS dari kaum perempuan disebutkan bekerja lebih cepat dan efektif. Kondisi mereka juga lebih bugar, karena diyakini kaum perempuan memiliki waktu istirahat lebih banyak dibandingkan laki-laki.