JAKARTA – Cuitan lawas Ridwan Kamil dan Pramono Anung, dua calon gubernur Jakarta, menjadi sorotan warganet dalam beberapa hari terakhir. Apakah unggahan lama ini akan menimbulkan persepsi negatif dari publik?
Tak lama setelah KPU Jakarta menutup pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur, apa pun yang menjadi rekam jejak para calon dikuliti masyarakat. Ridwan Kamil, yang berpasangan dengan Suswono dan diusung 15 partai politik, disebut memiliki ‘dosa’ karena pernah mengejek kota dan warga Jakarta di akun X-nya.
Pun dengan calon dari PDI Perjuangan, Pramono Anung. Pria yang menjabat Menteri Sekretaris Kabinet ini ketahuan sempat mengunggah cuitan yang merendahkan perempuan.
Juru bicara pemenangan pilkada PDIP Aryo Seno Bagaskoro mengatakan, siapa pun yang berniat maju dalam Pilkada Jakarta harus siap menghadapi iklim politik yang sangat kritis. Kata Seno, apa yang terjadi hari ini justru menunjukkan kedewasaan masyarakat Indonesia.
Cuitan Bang Emil Mengejek Warga Jakarta
Cuitan-cuitan lama Ridwan Kamil di X mulai menjadi sorotan sejak aksi unjuk rasa menolak RUU Pilkada di berbagai kota pada 22 Agustus. Sejak saat itu warganet seperti menjadi lebih bersemangat menguliti rekam jejak digital Ridwan Kamil, kebanyakan di tahun 2010 sampai 2012. Di antara celotehan Bang Emil yang mungkin bisa menyulut emosi warga Jakarta adalah sebagai berikut.
“Tengil, gaul, glamor, songong, pelit, gengsian, egois, pekerja keras, tahan banting, pamer, hedon. Itu karakter org JKT. #citybranding,” yang ditulis pada 6 Juni2011.
“Selain uangnya, adakah alasan lain untuk menyukai Jakarta?” yang ditulis pada 17 Juni 2012.
Untuk diketahui, kala itu Ridwan Kamil belum terjun sebagai pejabat publik. Bang Emil baru menjadi Wali Kota Bandung pada 2013-2016, sebelum lanjut menjadi Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023.
Rekam jejak digital Pramono Anung dari 2010-2011 tak luput dari warganet. Politikus PDIP ini beberapa mengunggah pernyataan yang dinilai merendahkan perempuan.
Bagaimana dengan Dharma Pongrekun? Cagub melalui jalur independen ini tidak memiliki pengalaman di bidang politik sebagaimana dua pesaingnya. Namun, nama Dharma sempat menjadi perbincangan publik karena ia beberpa kali melontarkan pernyataan kontroversial.
Mulai dari teori konspirasi saat pandemi COVID-19, sampai keyakinannya bahwa pandemi digunakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk “memasang chip di tubuh kita” dan “mengambil alih kedaulan negara”. Ketika layanan internet Starlink dipasang di sejumlah puskesmas di daerah terpencil diIndonesia, Dharma menyebutnya sebagai bagian dari agenda “great reset” paraelite global untuk mengendalikan kehidupan umat manusia.
Ridwan Kamil telah meminta maaf lewat akun X-nya ketika cuitan lawasnya tersebar kembali. Tak hanya mengakui kesalahan, ia bilang cuitan-cuitan tersebut adalah bentuk ekspresinya sebelum menjadi pejabat publik.
“Bagaimanapun, untuk twit-twit saya yang lama, saya akui dulu saya kurang bijak dan mungkin kurang literasi—bahkan kurang sopan. Saya mohon maaf jika ada pihak-pihak yang tersakiti, tersindir, atau terhina dengan cara saya berekspresi. Semoga saya bisa lebih baik lagi ke depan," ujar Bang Emil.
Lain lagi dengan Pramono Anung yang tidak menyesali cuitannya saat itu. Ia berkilah, apa yang disampaikan pada 2010 adalah candaan umum di saat itu.
“Apakah saya menyesal melakukan itu? Enggak. Karena saya tidak sama sekali pernah (bermaksud) untuk menghujat seseorang, merendahkan orang, kemudian juga pornografi ndak ada. (Yang saya sampaikan) itu semuanya tentang bercandaan yang ramai dan saya yakin juga semua pada generasi itu melakukan hal yang sama," kata Pramono.
Pemilih Indonesia Pemaaf dan Pelupa
Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Center) Andriadi Achmad mengatakan, rekam jejak digital Ridwan Kamil dan Pramono Anung tidak akan memengaruhi elektabilitas jelang Pilkada Jakarta.
Menurutnya, masyarakat Indonesia cenderung pelupa dan pemaaf, sehingga cuitan lawas para calon gubernur nyaris tidak akan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara Pilkada Jakarta. Apalagi hingga saat ini sebagian masyarakat masih meyakini bahwa penyelenggaraan pilkada telah diatur sedemikian rupa untuk memenangi salah satu pasangan.
“Jejak digital ada pengaruhnya, tapi tidak besar. Karena kecenderungan masyarakat pemilih Indonesia yaitu mudah melupakan dan gampang memaafkan. Jadi apa yang dilakukan kontestan Pilkada Jakarta selama ini belum tentu terekamdengan baik oleh masyarakat bahkan mereka tidak peduli,” kata Andriadi kepada VOI.
“Apalagi ketiga paslon selama ini tidak bersentuhan dengan Jakarta. Pramono lebih banyak di lingkaran elite nasional (legislatif dan eksekutif), Dharma Pongrekun (Polri) dan Ridwan Kamil di Jawa Barat,” imbuhnya.
Sebelum akhirnya dicalonkan di ibu kota, kata Andriadi, masyarakat Jakarta tidak begitu peduli dengan jejak digital digital ketiga calon. Lain cerita jika seandainya Anies Baswedan atau Basuki Tjahaya Purnama yang memiliki rekam jejak digital karena keduanya dinilai cukup dekat dengan Jakarta.
“Berbeda dengan Anies atau Ahok tentu masyarakat Jakarta mengenal betul tanpa perlu melihat jejak digital keduanya,” tutur dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia itu.
“Bahkan kalau kita mau membaca langsung pemenang Pilkada Jakarta sebetulnya sudah ada yaitu Ridwan Kamil. Berbeda cerita jika Anies Baswedan ikut meramaikan pilgub Jakarta,” Andriadi menyudahi.
Namun, pendapat berbeda diutarakan pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin. Menurutnya, emosi adalah hal esensial dalam komunikasi politik. Unggahan lama para calon gubernur disebut dapat menimbulkan persepsi negatif dari publik sehingga kini tiap kandidat menghadapi “erosi kepercayaan”.
BACA JUGA:
“Erosi kepercayaan ini nanti bisa berdampak pada narasi yang berusaha dibangun. Kalau bertolak belakang, maka orang akan cenderung menilai suatu aktivitas atau pesan kampanye sebagai pencitraan semata,” kata Alvin.
“Efek lanjutannya adalah kandidat akan lebih menghabiskan waktu merespons kampanye negatif ini. Fokus kampanye dapat bergeser dari isu-isu penting yang ingin diangkat oleh kandidat ke kontroversi pribadi mereka, mengganggu narasi kampanye yang telah direncanakan,” kata dia mengimbuhkan.
Meski demikian, Alvin menilai persepsi publik bisa saja berubah di masa kampanye, tergantung pada beberapa hal seperti kinerja kandidat dalam pemberitaan dan di media sosial, intensitas iklan, atau kebijakan yang diusulkan.