Bagikan:

JAKARTA - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa negaranya berhasil menekan penyebaran COVID-19. Putin juga mengklaim negaranya berhasil mengatur situasi tersebut berkat langkah-langkah awal dan agresif untuk mencegah lebih banyak orang terkena virus tersebut. 

Dilansir dari CNN, Senin 23 Maret, jumlah kasus COVID-19 Rusia yang dikonfirmasi terbilang rendah, meskipun Rusia berbagi perbatasan yang panjang dengan China dan mencatat kasus pertama pada Januari. Rusia catatkan 438 kasus terkonfirmasi di antara 146 juta penduduk dimiliki.

Perkara ini berbanding terbalik dengan Luksemburg yang mencatat 800 kasus --delapan di antaranya meninggal-- dari total populasi 628 ribu. Penjelasannya, saat wabah masih hanya di China, Rusia telah menutup perbatasan dengan China pada 30 Januari. Rusia juga telah mendirikan zona karantina jauh sebelum COVID-19 menjadi pandemi. 

Hal lain yang dilakukan Rusia adalah penyelenggaraan tes sedini mungkin. Sejak awal Februari, Rusia telah gencar melakukan tes COVID-19 kepada masyarakat. Ini sejalan dengan imbauan yang berkali-kali disampaikan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada negara- negara dunia.

"Pengujian dan identifikasi kasus, pelacakan kontak, isolasi, ini semua adalah langkah-langkah yang diusulkan dan direkomendasikan WHO, dan mereka ada di tempat sepanjang waktu. Kemudian, social distancing adalah komponen kedua yang benar-benar juga dimulai sejak awal," kata Melita Vujnovic, perwakilan (WHO) di Rusia

Rospotrebnadzor, pengawas konsumen negara bagian Rusia, mengatakan bahwa pihaknya telah menjalankan lebih dari 156.000 uji COVID-19 secara total. Sebagai perbandingan, menurut angka CDC, Amerika Serikat (AS) baru mengambil langkah dalam pengujian pada awal Maret, sementara Rusia mengatakan telah menguji secara massal sejak awal Februari, termasuk di bandara, dengan fokus pada pendatang dari Iran, China, dan Korea Selatan.

Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Lubang dari pencegahan COVID-19 di Rusia adalah mereka tidak memberikan tes COVID-19 kepada mereka yang tiba dari Italia atau negara-negara Uni Eropa lain yang terkena dampak buruk. Mayoritas kasus COVID-19 yang terjadi di Rusia dilaporkan mayoritas orang yang memiliki riwayat perjalanan dari Italia.

Tuduhan Menutupi kasus

Meski demikian, penanganan COVID-19 tak selalu mulus di Negeri Beruang Merah tersebut. Anastasia Vasilyeva, seorang dokter dari tokoh oposisi Rusia, Alexey Navalny, dan pemimpin persatuan Aliansi Dokter, menjadi berita utama dengan serangkaian video di mana ia mengklaim pihak berwenang menutupi jumlah orang yang terjangkit COVID-19. Menurut mereka, banyak dokter mendiagnosis penderita COVID-19 hanya menderita pneumonia dan infeksi pernapasan. 

"Anda lihat mereka mengatakan pasien COVID-19 pertama yang meninggal, bahwa penyebab kematiannya adalah trombosis. Itu sudah jelas, tidak ada yang meninggal karena COVID-19 itu sendiri, mereka meninggal karena komplikasi, jadi sangat mudah untuk memanipulasi kasus ini," kata Anastasia.

Namun, perwakilan WHO di Rusia Vujnovic mengatakan bahwa pernyataan Anastasia tidak benar dan Anastasia tidak peka dalam melihat grafik kasus yang selalu bertambah. "Jika ada hal ganjal yang tersembunyi dan tidak dikenal di suatu tempat, itu akan terlihat dalam laporan. Jadi saya tidak percaya hal tersebut terjadi. Anda mungkin tidak melihat peningkatan kasus pada periode berikutnya, karena kami telah melihat itu di banyak negara," kata Vujnovic. 

Masyarakat Rusia juga skeptis dengan apa yang disampaikan Otoritas. Di media sosial, banyak masyarakat yang mempertanyakan transparansi negara mereka yang buruk, seperti penutupan bencana nuklir Chernobyl pada 1986 dan respons negara yang gagal terhadap epidemi HIV/AIDS pada 1980-an.

Laporan berita tentang kelangkaan peralatan pelindung juga memicu kemarahan masyarakat. Banyak orang yang juga ragu akan keandalan sistem pengujian Rusia, yang bergantung pada satu laboratorium. Sebuah laporan menunjukkan bahwa satu-satunya sistem pengujian virus corona yang disetujui, diproduksi oleh Vector di Novosibirsk, memiliki sensitivitas yang lebih rendah daripada tes virus lainnya.

Hal tersebut meningkatkan kekhawatiran tentang hasil tes negatif yang palsu. David Berov, pasien COVID-19 pertama yang dikonfirmasi di Moskow, lewat Instagram-nya mengatakan bahwa tes keduanya menunjukkan hasil negatif, sedangkan yang pertama dan ketiga dites positif.

"Virus itu terkonfirmasi saat tes ketiga, tidak terlihat pada darah saya, tetapi pada air liur saya, Seperti yang saya katakan, mereka hampir tidak bisa melihatnya sehingga itu sebabnya mereka ragu," tulis Berov pada 5 Maret. 

Putin mengatakan pemerintah mungkin tidak memiliki gambaran lengkap terkait COVID-19, tetapi tidak menutupi jumlah kasus. "Ini masalahnya: pihak berwenang mungkin tidak memiliki informasi lengkap, karena kadang-kadang orang tidak melaporkannya, dan mereka sendiri tidak tahu bahwa mereka sakit, dan periode latennya sangat panjang ... Tapi semua yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan adalah semua informasi yang objektif," ujar Putin. 

Rusia juga mencatat bahwa terdapat 30 hingga 50 kasus setiap hari dan jumlah itu kemungkinan akan semakin meningkat. Namun demikian, perwakilan WHO di Rusia masih mengatakan hal tersebut masih relatif tidak parah.