Bagikan:

JAKARTA - Sebuah video viral, memerlihatkan seekor kuda nil di Taman Safari Indonesia (TSI) dengan sampah botol plastik di dalam mulutnya. Pelempar sampah itu adalah seorang nenek 64 tahun. Si nenek mengaku khilaf. Dalam konteks yang lebih terstruktur, kita ingat, di Indonesia, beberapa hewan memang diberi makan sampah. Sapi, maksud kami.

Nenek itu bernama Khadijah. Permintaan maafnya diunggah oleh akun Instagram @taman_safari. Khadijah diketahui warga asal Cicalengka, Jawa Barat.

Dalam video permintaan maaf, Khadijah mengaku menyesal. Ia juga menyebut tak sengaja, khilaf, atau alasan sejenis lain yang menegaskan bahwa membuang sampah ke mulut kuda nil bukan kehendaknya secara sadar.

"Iya menyesali, minta maaf seluruh Indonesia sama seluruh Taman Safari, saya minta maaf sekali. Saya kalaf. Salah," ucap dia, dikutip VOI, Selasa, 9 Maret.

"Jangan ikuti saya, saya salah seluruh Indonesia ... Saya melempar, enggak sengaja itu," tambah Khadijah.

Sapi pemakan sampah di Bantul

Tapi, sungguh. Di Indonesia, beberapa hewan memang makan sampah. Bahkan disengaja. Dan jika Anda berpikir ini isu lama, bukan. Juli 2020 lalu, kala waktu mendekati Iduladha, kabar soal sapi-sapi pemakan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta jadi bahasan serius.

Tagar.id memberitakan kondisi sapi-sapi itu, yang digambarkan tak gemuk, namun juga tak terlalu kurus. Yang jelas seluruh sapi itu bermata sayu. Jumlah sapinya pun tak sedikit. Ada 1.100 ekor. Pemilik sapi-sapi itu adalah warga sekitar TPST Piyungan. Pun jika ada sapi milik orang dari luar area TPST, mereka biasanya bekerja sama dengan warga sekitar.

Maryono, Ketua Komunitas Pemulung 'Mardiko' TPST Piyungan menceritakan risiko yang kematian yang dialami sapi-sapi itu. Menurut Maryono, ada tiga penyebab kematian paling umum bagi sapi. Pertama, efek meminum air limbah. Kedua, keracunan makanan yang mengandung racun tikus. Ketiga, tergilas alat berat yang beroperasi di TPST.

Ilustrasi foto (Muhammad Ikbal/VOI)

Meski begitu Maryono membantah jika sapi-sapi pemakan sampah itu adalah sapi jualan untuk kurban Iduladha. Menurut Maryono, keberadaan sapi-sapi pemakan sampah itu telah diawasi oleh Dinas Kesehatan setempat. Dinas Kesehatan juga telah membuat ketentuan, sapi-sapi pemakan sampah itu wajib dikarantina setidaknya tiga bulan jika ingin dijual.

Lagipula, menjual sapi pemakan sampah konon terlalu berbahaya bagi para belantik --penjual hewan ternak-- itu sendiri. Petugas Unit Pelaksana Teknis Pengelola PTST Piyungan, Ibnu Zulkarnanto mengatakan jika pembeli tahu menerima sapi dari TPST, maka di situlah akhir hubungan kerja sama antara para belantik dan pembeli sapi.

Meski begitu, Ibnu mengatakan, sapi-sapi dari TPST biasanya disembelih dahulu di salah satu rumah pemotongan hewan tak jauh dari TPST. Pendistribusian biasanya dilakukan ketika sapi-sapi itu telah menjadi daging potong.

Risiko mengonsumsi daging sapi pemakan sampah

Ilustrasi foto (Alfred Keneally/Unsplash)

Di bulan Juli lain tahun 2018, kasus serupa ditemukan di lokasi yang sama. Kala itu, Mongabay yang mewartakan. Menurut pemberitaan itu, sapi-sapi memakan sampah organik dan anorganik. Tak terkendali sama sekali. Dan melihat apa yang terjadi dua tahun setelahnya di tempat yang sama, apa yang sudah dilakukan otoritas?

Edi Suryadi, dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada meminta masyarakat mewaspadai modus kecurangan ini. Jangan pernah membeli sapi yang dipelihara dari lingkungan sekitar pembuangan sampah. Kemungkinan besar, kata Edi, sapi-sapi itu telah terkontaminasi berbagai macam penyakit.

Menurut Edi, daging sapi-sapi pemakan sampah itu sangat mungkin mengandung logam berat dan zat lain yang berbahaya. Selain terkontaminasi logam berat, sapi pemakan sampah juga mengandung banyak bakteri dan virus. “Sapi pemakan sampah banyak sumber penyakitnya,” katanya.

Ilustrasi foto (Muhammad Ikbal/VOI)

Pada 2015, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret Solo pernah melakukan penelitian terkait ini. Penelitian itu menemukan zat kimia plumbum atau timbal yang melebihi ambang batas di dalam daging-daging sapi pemakan sampah.

Dan bukan cuma di TPST Piyungan, Bantul. Pada 2017, penelitian itu turut mengambil sampel daging sapi pemakan sampai di TPA Putri Cempo, Mojosongo, Surakarta. Sapi-sapi di lokasi itu juga dinyatakan tak layak konsumsi. Sama dengan penelitian sebelumnya, sapi-sapi TPA Putri Cempo juga mengandung timbal tinggi melebihi ambang batas.

Penelitian itu menunjukkan angka 13-17 ppm (part per million) timbal berbahaya di dalam daging sapi pemakan sampah lama. Sementara, untuk sapi-sapi pemakan sampah baru, kandungan timbalnya berada di angka 1,46 hingga 1,7 ppm. Angka itu berada di atas ambang batas kandungan timbal yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yakni 1 ppm.

BERNAS Lainnya