Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan,  hingga saat ini bahan Bisfenol A (BPA) yang terdapat dalam kemasan plastik polikarbonat tidak terbukti menyebabkan kanker.

“Saya harap tidak perlu khawatir, karena BPA yang ada di air kemasan itu buktinya masih sangat lemah untuk bisa menyebabkan kanker. Jadi, masyarakat belum perlu khawatir atau tidak perlu khawatir saat ini,” kata Aru dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Antara, Senin, 15 Agustus.

Untuk itu, dia meminta agar masyarakat tidak perlu panik dan takut untuk mengkonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) galon. Dia mengatakan isu bahwa BPA menyebabkan kanker, hanya memunculkan kepanikan saja di masyarakat.

“Apa yang ada katanya, dilakukan percobaan pada tikus, yang mana tikusnya benar-benar diberi makan BPA. Tapi sebuah penelitian, awalnya itu juga tidak sampai begitu, memberikan langsung BPA ke hewan percobaan,” kata dia.

Da menyarankan salah satu kiat untuk mencegah kanker itu adalah dengan minum air putih yang cukup dan meminta agar masyarakat rajin melakukan gaya hidup sehat seperti berolah raga dan makan makanan bergizi.

Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD menambahkan, BPA yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh.

BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.

“Jadi sebenarnya, kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita. Misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA. Tapi, ketika dikonsumsi, yang paling berperan itu adalah hati. Ada proses glukorodinase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin,” kata  Syaefudin.

Selain itu, kata Syaefudin, sebenarnya BPA juga memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya. Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama 5 hingga 6 jam akan cuma tersisa 5.

“Nah, yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” kata Syaefudin.

Dari sisi seorang biokimia, menurut Syaefudin, uji BPA setelah dikonsumsi itu sangat perlu dilakukan.

“Makanya yang perlu dicek sekarang itu adalah kondisi kita itu seperti apa sih dengan regulasi yang ada sekarang. Sebenarnya paparan yang ada (existing) itu berapa setelah berada di dalam tubuh. Kalau sudah tahu paparannya, baru bisa jadi argumentasi yang logis untuk industri maupun masyarakat,” ucap Syaefudin.