Bagikan:

JAKARTA - Sejalan dengan amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Badan POM diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengawasan pemenuhan persyaratan keamanan, mutu, gizi dan label serta iklan pangan olahan.

Peraturan Presiden No. 80 tahun 2017 tentang Badan POM disebutkan bahwa Badan POM menyelenggarakan fungsi penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang pengawasan obat dan makanan. Penetapan NSPK tersebut sebagai upaya untuk optimalisasi pengawasan obat dan makanan yang sepenuhnya dimaksudkan untuk melindungi masyarakat konsumen dan sekaligus pelaku usaha selaku produsen.

Dalam rangka melaksanakan amanah tersebut, Badan POM secara berkelanjutan melakukan reviu standar dan peraturan yang telah ditetapkan bersama dengan segenap pemangku kepentingan termasuk pakar dan Kementerian/Lembaga terkait dan tentunya pelaku usaha.

Dengan semakin meningkatnya konsumsi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang disebabkan masih relatif rendahnya cakupan ketersediaan air bersih/minum perpipaan di Indonesia yang baru 20,69 persen (2021) dari total penduduk yang membutuhkan air minum/bersih yang memenuhi standar kualitas dan keamanan, Badan POM melakukan reviu terhadap standar kemasan dan pelabelan AMDK.

Sebagaimana berlaku di dunia internasional, reviu yang dilakukan berdasarkan perkembangan hasil pengawasan, ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi serta bukti ilmiah di Indonesia dan di negara lainnya.

Saat ini di masyarakat internasional dan dalam negeri telah banyak informasi terkait keamanan Bisfenol A (BPA) pada kemasan plastik polikarbonat (PC) yang berpotensi berdampak pada kesehatan. BPA merupakan salah satubahan penyusun plastik PC kemasan air minum dalam galon yang pada kondisi tertentu dapat bermigrasi dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya.

Karena menjadi perhatian serius di luar negeri terhadap dampak kesehatan dari BPA ini, pada tahun 2018 Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula sebesar 0,6 bpj (bagian per juta) turun menjadi 0,05 bpj.

BPA bekerja atau berdampak kesehatan melalui mekanisme endocrine disruptors atau gangguan hormon khususnya hormon estrogen sehingga berkorelasi pada gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, perkembangan kesehatan mental, Autism Spectrum Disorder (ASD), dan pemicu Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

Beberapa negara seperti Prancis, Brazil, negara bagian Vermont (Amerika Serikat) dan Columbia telah menetapkan pelarangan penggunaan BPA pada kemasan pangan termasuk air minum dalam kemasan. Negara bagian California (Amerika Serikat) mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA berupa potensi resiko kanker, gangguan kehamilan dan fungsi reproduksi.

BPA termasuk dalam salah satu senyawa yang diatur dalam daftar Proposition 65 (Peraturan Negara Bagian California) yang harus mencantumkan peringatan pada label kemasan setiap produk dan pada ritel/rak penjualan.

Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito mengatakan, di Indonesia persyaratan batas migrasi Bisfenol A pada kemasan plastik polikarbonat ditetapkan dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, sebesar 0,6 bpj. Berdasarkan hasil pengawasan kemasan galon yang dilakukan Badan POM pada tahun 2021 dan 2022, baik dari sarana produksi maupun peredaran, ditemukan 3,4 persen sampel tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang diperoleh di sarana peredaran.

Penny menjelaskan, hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan (berada pada 0,05 s.d. 0,6 bpj) sebesar 46,97 persen di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi. Hasil pengawasan kandungan BPA pada produk AMDK dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpj (berisiko terhadap kesehatan) di sarana produksi sebesar 5 persen sampel galon baru dan di sarana peredaran sebesar 8,67 persen.

"Sehingga dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur, Badan POM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan," jelas Penny dalam acara Sarasehan Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat melalui Regulasi Pelabelan BPA pada AMDK, dikutip Kamis 9 Juni.

Lebih lanjut Penny mengatakan, pengaturan pelabelan BPA pada AMDK ini juga dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi serta bukti ilmiah di negara lain, dan perlu dipahami bersama bahwa isu BPA dalam produk pangan olahan ini bukan masalah kasus lokal atau nasional tetapi merupakan perhatian global yang harus kita sikapi dengan cerdas dan bijaksana untuk kepentingan perlindungan kesehatan konsumen.

Agar tidak terjadi penyimpangan informasi, peraturan ini hanya mengatur kewajiban mencantumkan tulisan cara penyimpanan pada label AMDK: “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” dan pencantuman label “Berpotensi Mengandung BPA” pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik PC.

Namun pencantuman label “Berpotensi Mengandung BPA” dikecualikan untuk produk AMDK dengan hasil analisis BPA tidak terdeteksi dengan nilai Limit of Detection (LoD) ≤ 0,01 bpj dan migrasi BPA dari kemasan plastik polikarbonat memenuhi ketentuan perundang-undangan.

Poin penting

Penny menegaskan beberapa poin penting dalam pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik antara lain, tidak melarang penggunaan kemasan galon PC sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

"Sekali lagi ini semata untuk kepentingan perlindungan konsumen dan juga pelaku usaha (agar tidak ada liabiliti atau tuntutan hukum dikemudian hari). Regulasi ini hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai ijin edar sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang," katanya.

Adanya regulasi ini, menurut Penny, diharapkan dapat menggerakkan pelaku usaha berinovasi sehingga muncul kompetisi/ daya saing untuk menghasilkan produk yang aman dan bermutu, sehingga masyarakat diuntungkan. Bila produk AMDK kemasan galon PC dapat memenuhi ketentuan yang ditetapkan maka label produk beredar tidak perlu dicantumkan “berpotensi mengandung BPA”.

"Pencantuman informasi dapat berupa sticker atau inkjet atau teknologi lainnya sepanjang melekat kuat dan tidak mudah terhapus. Sekali lagi kami menggugah kesadaran dan tanggungjawab kita bersama baik selaku produsen maupun konsumen demi kebaikan bersama dalam upaya kita membangun masyarakat yang sehat, produktif dan berdaya saing," pungkas Penny.

Badan POM RI akan terus bersinergi dengan stakeholder terkait dalam rangka meningkatkan pengawasan pangan olahan dalam upaya melindungi kesehatan masyarakat serta menjamin perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab.