Dampak Buruk Terungkapnya Identitas Pasien Positif COVID-19
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pasien positif virus corona atau COVID-19 pertama di Indonesia sampai saat ini masih diisolasi di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. Pasien dengan nomor kasus 1 dan kasus 2 sudah dirawat selama 11 hari, terhitung sejak 2 Maret. 

Kedua pasien disebut sudah melakukan 4 kali tes laboratorium, namun hasilnya masih positif. Beberapa waktu lalu, juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona COVID-19, Achmad Yurianto mengatakan kondisi pasien dalam keadaan baik, namun mengalami tekanan psikologis. 

Bagaimana tidak, saat informasi pasien positif tersebut muncul, masyarakat langsung gempar. Entah dari mana, identitas seperti nama, domisili, dan foto mereka tersebar di media sosial. 

"Ini pukulan berat kepada psikologis mereka berdua. Mereka agak tertekan karena publikasi yang masih menghantui. Mungkin, mereka berpikir kalau pulang jangan-jangan tidak diterima oleh tetangga dan lingkungan," kata Yurianto, beberapa waktu lalu. 

Pengungkapan identitas ini membuat Presiden Joko Widodo berkomentar. Dia meminta seluruh pihak, termasuk media tidak membuka terlalu jauh data pasien tersebut.

"Saya mengingatkan agar rumah sakit, pejabat pemerintah, tidak membuka privasi pasien. Kita harus hormati, tidak boleh dikeluarkan ke publik. Ini etika komunikasi, media harus menghormati privasi mereka," tutur Jokowi. 

Psikolog klinis Anne Sari mengatakan, akan ada efek buruk psikologis seseorang ketika mendapat argumen negatif serta pengungkapan identitas dirinya di media sosial, termasuk seorang pasien positif corona.

Tekanan terberat bagi pasien tersebut, kata Anne, adalah stigmatisasi dan penolakan di masyarakat dari penyiaran identitas (doxing) pasien tersebut. Ketika nanti dia sembuh dan kembali ke rumah, kalau ditolak oleh warga sekitarnya, pasti tekanan psikologinya akan sangat.

"Karena sifat dasar kita adalah kita punya yang namanya root and belonging. Kita punya kebutuhan untuk berakar dan menjadi bagian dari suatu kelompok masyarakat," kata Anne saat dihubungi VOI, Kamis, 12 Maret. 

Ilustrasi (Unsplash)

Anne menjelaskan, ketika kondisi psikis melemah, akan keluar hormon kortisol. Hormon yang dipengaruhi 1stres ini menyebabkan tubuh seseorang lebih rentan mengalami infeksi. 

Bahayanya, jika kadar hormon kortisol menjadi tinggi, seseorang akan mengalami sindrom cushing. Ketika sindrom ini menerpa, akan mengganggu daya tahan tubuh. 

"Kalau daya tahan tubuh terganggu, jadinya kita jadi mudah terinfeksi. Oleh karenanya, ketika kondisi seperti ini, yang harus kita kejar selain pemulihan kesehatan adalah kesejahteraan psikologis," jelas Anne. 

Untungnya, dalam pandangan Anne, lingkungan penanganan kesehatan pasien positif corona cukup bagus. Ketika di luar orang ada yang menstigma mereka, di lingkungan terdekat mereka masih mendukung.

Lebih lanjut, Anne mengaku tak bisa menentukan pola perawatan psikologi pasien positif corona, karena hal ini merupakan wewenang dan standar operasional pihak rumah sakit. 

Namun, ia menceritakan pengalamannya sebagai tim dukungan kesehatan jiwa dan psikososial terhadap WNI yang pernah dikarantina di Natuna setelah dievakuasi dari Provinsi Hubei di China. 

Kepada WNI yang diobservasi tersebut, Anne beserta tim mengajak mereka tetap mengembangkan kebiasaan perilaku hidup bersih, pola makan yang teratur, menjaga kualitas makanannya, keteraturan tidur, serta pola hidup bersih seperti selalu menggunakan masker dan pembersihan kelengkapan diri. 

Kemudian mereka diminta menjaga pengelola pikiran dan emosi. Tim pendamping WNI yang diobservasi selama 14 hari tersebut diajarkan untuk hanya menerima informasi sebanyak yang mereka mampu. 

"Tujuan pendampingan menjaga kesejahteraan psikologis sampai akhir masa observasi. Karena itu yang paling penting baik fisik atau kesejahteraan keseluruhan," jelas dia. 

Anne menambahkan, WNI yang saat ini telah dinyatakan negatif tersebut, saat masa observasi akan merasa resah dengan segala informasi yang mereka terima tentang penyakit menular ini. Derasnya informasi membuat mereka kelelahan. Maka, kata Anne, pihaknya mengajari mereka memilih informasi yang mereka bisa terima. 

"Ketika mereka melihat komentar di media sosial yang tendensius. Kita kan enggak bisa mengontrol orang untuk tidak berkomentar. Nah, ya sudah, mereka kita minta untuk tidak usah membaca komentar tersebut," ucap Anne. 

Pendampingan seperti ini bisa diterapkan kepada pasien positif, namun dilakukan dengan lebih ketat. "Kalau yang dinatuna kan sifatnya karantina, sementara pasien yang positif namanya isolasi, tentu pendekatannya berbeda. Ketika isolasi, maka lebih ketat pengawasannya dan ada tindakan medis," lanjut dia. 

Ilustrasi (Pixabay)

Penanganan tekanan psikologi pasien di RSPI Sulianti Saroso 

Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR) dari Instalasi Rehabilitasi Medik RSPI Sulianti Saroso, Barita menjelaskan, pasien yang diisolasi, baik pasien positif maupun pasien dalam pengawasan (PDP) atau suspect corona mendapat konseling dan psikoterapi. 

Teknik pendampingannya, kata dia, bisa melalui interkom lewat telepon dan monitor, atau jika memang diperlukan, akan berkontak langsung dengan pasiennya. Hal ini dilakukan untuk mencegah ketidakaktifan (inactivity) pasien. 

"Nah, untuk mengantisipasi inactivity selama perawatan, maka kami dari tim rehabilitasi instalasi medik memberikan video edukasi latihan atau exercise ringan supaya pasien dapat melakukan gerakan tersebut dengan frekuensi intensif dan bertahap. Jadi pasien tidak boleh inactive selama masa perawatan," jelas Barita. 

Barita pun mengakui, ketika ada pasien-pasien dengan perawatan yang lama atau tirah baring (bed rest), dapat mengalami sindroma (beberapa gejala) dekondisi. Sindroma ini dapat mengganggu hingga ke gangguan saraf dan gangguan psikologis. 

"Nah, pasien-pasien yang terjadi inactivity selama dalam perawatan, bisa bisa terjadi seperti gangguan cemas atau depresi tersebut. Gejala ini akan tetap kami elaborasi," ucap dia. 

Ruang perawatan RSPI Sulianti Saroso (Irfan Meidianto/VOI)