JAKARTA – Drama pemilihan umum masih terus berlanjut. Sekarang ini, publik dibuat terkejut dengan anomali perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang melonjak secara tiba-tiba.
Pada Minggu (3/3/2024), suara PSI berada di angka 3,13 persen atau sebesar 2.403.367 suara. Jumlah suara partai yang dimpimpin Kaesang Pangarep ini mendapar sorotan karena mengalami kenaikan signifikan hanya dalam waktu sehari, setelah sebelumnya hanya di angka sekitar 2,8 persen.
Dengan demikian, PSI hanya butuh kurang dari satu persen suara, tepatnya 0,87 persen suara, untuk dapat mencapai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) empat persen. Jika berhasil mencapai ambang batas, maka untuk pertama kalinya partai yang dipimpin putra bungsu Presiden Joko Widodo itu dapat menduduki kursi DPR di Senayan.
Lonjakan suara yang dialami PSI menjadi sorotan. Muncul dugaan terjadi penggelembungan suara untuk partai ‘anak muda’ ini. Kecurigaan tersebut muncul karena ada perbedaan hasil perolehan suara PSI antara Sirekap KPU dan formulir model C1 Plano terjadi di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sadar partai yang dibangunnya jadi pembicaraan publik, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie meminta semua pihak menunggu hasil akhir dari KPU. Ia menegaskan, saat ini rekapitulasi suara masih berlangsung.
"Kita tunggu saja hasil perhitungan akhir KPU. Jangan menggiring opini yang menyesatkan publik. Yang tidak wajar adalah apabila ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini dengan mempertanyakan hal tersebut," kata Grace dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/3).
KPU Harus Jelaskan Secara Detail
KPU sampai sekarang belum memberikan respons terkait masalah ini. Padahal, penjelasan KPU sangat dibutuhkan untuk meredakan polemik di masyarakat. Analis Sosial Politik Karyono Wibowo mengatakan, KPU dan lembaga survei wajib memberikan penjelasan sedetail-detailnya kepada publik jika perolehan suara PSI nantinya menembus empat persen.
“KPU harus menjelaskan secara detail terkait dengan lonjakan suara PSI yang mencurigakan rakyat, sejauh ini penjelasan KPU tidak detail,” ujar Karyono saat dihubungi VOI.
Karyono juga mengingatkan, sejauh ini hasil hitung cepat selalu presisi, karena selisih hasil penghitungan KPU dengan quick count sangat tipis, yaitu hanya sekitar 0,1 sampai 1 persen jika dilakukan sesuai dengan kaedah survei yang benar.
Jika merujuk data hitung cepat di sejumlah lembaha survei, PSI diprediksi tidak lolos ke Senayan, karena perolehan suaranya di kisaran 2,6 sampai 2,8 persen dan margin error paling satu persen dengan sampel 3000 TPS.
Menurut Karyono hal ini juga bisa menimbulkan gonjang-ganjing karena menyangkut kredibilitas lembaga, baik lembaga survei maupun KPU.
“Perolehan suara PSI versi quick count paling tinggi 2,8, katakanlah naik satu persen itu baru 3,8 persen jadi tidak sampai empat persen,” Karyono menjelaskan.
"Jika nanti benar terjadi suara PSI mencapai ambang batas empat persen maka bisa menimbulkan kekacauan dan rakyat tidak percaya kepada lembaga survei dan KPU,” imbuhnya.
BACA JUGA:
Terakhir, ia meminta KPU tidak memandang sebelah mata masalah suara PSI yang mengalami lonjakan signifikan. Apalagi persoalan ini sudah menjadi sorotan dari rakyat biasa hingga elite politik.
“KPU jangan anggap ini masalah sepele, harus jelaskan ini sedetail-detailnya, sebaik-baiknya, sejelas-jelasnya kenapa ini terjadi. Kalau sampai ada kesengajaan menggelembungkan suara PSI maka bahaya, bisa chaos. Bisa semakin mengonfirmasi, mengafirmasi dugaan operasi sayang anak,” pungkasnya.
Kenaikan Setara Dua Juta Suara
Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mencoba menganalisis apa yang terjadi dengan suara PSI. Menurutnya, jumlah perolehan suara tersebut berbeda jauh dengan hasil quick count yang dirilis hampir semua lembaga survei.
Jumlah kenaikan hingga sekitar 1,2 persen dituturkan Pangi tidak sedikit karena persentase itu hampir setara dengan dua juta suara. Ia pun mempertanyakan sumber perolehan suara tersebut.
Selain itu, lonjakan suara PSI yang terjadi secara signifikan, dan berbeda dengan umumnya hasil hitung cepat pertama kali terjadi selama gelaran Pemilu dan Pilpres. Padahal menurut Pangi, quick count selama ini dianggap sebagai kontrol atau pembanding hasil penghitungan suara KPU.
"Akhirnya kita bertanya, setelah reformasi, tidak pernah ada quick count yang meleset dengan real count. Kali ini terjadi," katanya.
Sistem penghitungan suara hasil Pemilu di Indonesia yang dilakukan melalui proses rekapitulasi berjenjang dinilai Pangi memungkinkan terjadinya manipulasi. Praktik manipulasinya bisa terjadi dalam berbagai bentuk.
Misalnya, jual beli suara atau vote trading oleh partai atau Caleg yang dipastikan gagal lolos ambang batas parlemen. Bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan dalam pemerintahan.
“Setiap tingkatan jenjang rekapitulasi kita memungkinkan terjadinya manipulasi, penggelembungan suara, vote trading. Ada elite strong man yang bermain sangat berani mengubah C1 Plano,” kata Pangi.
Yang membuat masalah ini menjadi kian pelik menurut Pangi, penyelenggara maupun pengawas Pemilu tidak melakukan sikap pro aktif dan terkesan mendiamkan.
"Pertanyaannya, siapa yang mau membuktikan? Orang yang nggak dikasih gaji gimana cara membuktikannya kayak kita? Masa kita suruh membuktikan," kata Pangi.