Benarkah Silent Majority Bantu Dongkrak Suara di Pemilu?
Silent majority adalah kelompok besar masyarakat yang tidak mengekspresikan opini mereka secara terbuka. (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA – Mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membuat sebuah unggahan di akun Instagramnya tak lama setelah hasil quick count atau hitung cepat dirilis sejumlah stasiun televisi Indonesia. Lewat hasil quick count di beberapa lembaga survei, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengungguli Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

“Pelajaran. Silent Majority sudah berbicara,” tulis Ridwan Kamil di akun Instagramnya.

“Siapa mereka? 1. Mereka yang menyimak namun jarang komen, mereka yang jarang ribut-ribut-ribut di medsos tiap akun ini posting #politik,” lanjutnya.

Istilah silent majority juga sempat disinggung Jusuf Kalla bulan lalu. Mantan Wakil Presiden itu sempat membahas kondisi politik jelang Pemilu 2024, yang menurutnya sebagai Pemilu terburuk yang pernah ada di Indonesia.

Saat itu Kalla menyinggung soal intimidasi hingga aparat yang tidak netral. Menurutnya, silent majority akan bergerak jika tekanan dan ketidakadilan terus terjadi.

Diklaim jadi Penentu Kemenangan

Melansir Cambridge Dictionary, silent majority adalah sekelompok besar orang yang tidak mengekspresikan opini mereka mengenai sesuatu atau sederhananya kelompok besar orang di suatu negara yang tidak menyatakan pendapatnya secara terbuka.

Dalam bahasa Indonesia, silent majority berarti mayoritas yang diam. Sementara itu, mengutip Kompas, silent majority berarti suatu kelompok atau masyarakat yang tidak secara aktif berpartisipasi dalam perdebatan atau demonstrasi, namun memiliki pendapat atau sikap yang serupa.

Istilah silent majority sendiri menurut Political Dictionary pertama kali digunakan secara politis oleh Warren Harding dalam kampanyenya pada 1919. Istilah yang sama lalu dipopulerkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon pada tahun 1960-an.

Petugas KPPS menunjukan surat suara pemilihan calon presiden dan wakil presiden saat penghitungan suara Pemilu 2024 di Banda Aceh, Aceh, Rabu (14/2/2024). (Antara/Irwansyah Putra/Yu)

Nixon menggunakan istilah silent majority sebagai cara untuk menggalang semangat para pemilih yang mungkin belum memilih karena merasa tidak puas terhadap Pemilu Dalam pidatonya pada tahun 1969, Nixon memakai istilah tersebut untuk menarik sejumlah pemilih yang mendukungnya.

Pada kampanye Pemilu AS 2016, istilah silent majority juga digunakan oleh Donald Trump. Ia menggunakan istilah ini dalam sejumlah pidato dan menyatakan kaum mayoritas yang diam telah kembali untuk mendukungnya.

Dalam Pemilu, kelompok silent majority diklaim memiliki kekuatan untuk menjadi penentu dalam menentukan hasil suatu pemilihan. Kandidat yang mampu menarik dukungan dari silent majority berpeluang memenangkan pemilihan karena mereka mewakili suara mayoritas yang diam.

Bentuk Perlawanan Hoaks

Silent majority juga dianggap sebagai kelompok yang memiliki pengaruh besar pada perolehan suara Joko Widodo-Ma’Ruf Amin dalam Pilpres 2019. Seperti situasi sekarang, saat itu hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukkan Jokow-Ma’ruf unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan selisih suara kedua kubu antara 7 persen sampai 11 persen. Padahal saat itu, kubu Jokowi juga ramai diserang oleh berbagai berita hoaks dan tudingan anti-Islam selama kampanye.

Menurut pengamat dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) Wahyudi Akmaliah, perlawanan pendukung senyap atau silent majority memengaruhi kemenangan Jokowi-Ma’Ruf.

"Hoaks ini banyak beredar di WAG dan itu sangat marak, pada satu sisi pendukung tim 02 (Prabowo) itu sangat militan dan agresif. Dan itu mereka perlihatkan terus dengan biasanya terus kirim materi. Ini menciptakan semacam kemuakkan di kalangan pendukung 01 (Jokowi) maupun mereka yang belum menentukan pilihan (swing voter),” kata Wahyudi.

Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin tiba untuk mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). (Antara/Aprillio Akbar/pras)

"Pemilih yang tahu kinerja Jokowi biasanya memilih menyimak saja (silent reader). Dan kemuakan itu mereka tunjukan dengan meningkatkan partisipasi politik. Mereka membalasnya di bilik di TPS." tambahnya.

Menurut Wahyudi, perlawanan kelompok silent majority merupakan salah satu ciri karakter masyarakat Indonesia yang tidak begitu menyukai konfrontrasi terbuka.

"Ini memang tipikal orang Indonesia, khususnya orang Jawa dan beberapa kota lain memang mereka kalau tidak suka biasanya diam, tidak mau menghadapi atau berdebat langsung," Wahyudi menjelaskan.

Sebagai informasi, selama masa kampanye Pilpres 2019 yang berlangsung delapan bulan, rentetan hoaks bermunculan di media sosial. Lembaga PoliticaWave menyebut Jokowi adalah korban hoaks politik terbanyak dan pada Pilpres lalu, 10 hoaks terbesar dengan jumlah percakapan terbanyak di internet semuanya menyerang Jokowi.

Yang termasuk hoaks yang menyerang Jokowi antara lain isu penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet, utang pemerintah dari China, kontainer berisi surat suara, serbuan tenaga kerja asing hingga Jokowi dituduh PKI, anti Islam sampai larangan azan.