Golput Bukan Pilihan karena Berdampak pada Pembangunan Bangsa
Kampanye anti-Golput di tingkat akar rumput diduga mampu menangkal kampanye Golput di media sosial. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Ajakan Golput selalu saja muncul di setiap perhelatan pemilihan umum (Pemilu), termasuk pada Pemilu 2024. Mengapa Golput selalu muncul dan apa dampaknya terhadap pembangunan?

Golput seringkali diidentikan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak acuh dengan kondisi politik sehingga akhirnya memilih untuk tidak berangkat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos.

Komunitas Aktivis Milenial Indonesia Gen KAMI menggencarkan Gerakan Anti-Golput kepada para pemilih muda di Pemilu 2024. (Antara/HO-Gen KAMI)

Yang termasuk Golput adalah para pemilih yang suaranya tidak dihitung dan orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Tapi sebenarnya Golput awalnya adalah gerakan perlawanan, bukan sekadar tidak memilih dalam Pemilu karena alasan malas atau sikap apatis.

Awal Mula Golput

Golput merupakan singkatan dari golongan putih. Dikutip dari Kompas, Golput awalnya adalah gerakan protes mahasiswa dan pemuda menjelang Pemilu 1971. Kala itu, gerakan Golput muncul karena rasa kecewa para mahasiswa yang menganggap Golkar dan pemerintah telah melakukan kecurangan jelang Pemilu 1971, seperti menyebabkan perpecahan partai dan menakut-nakuti masyarakat.

Golput adalah sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto yang dinilai menyelenggarakan Pemilu dengan tidak demokratis.

Kampanye Golput pertama kali terjadi di Balai Budaya Jakarta, yang dipelopori Arief Budiman, Imam Walujo, Husin Umar, Jusuf A.R., Julius Usman, Asmara Nababan, dan Adnan Buyung Nasution. Mereka mengajak orang-orang yang tidak mau memilih partai politik dan Golkar untuk mencoblos bagian putih atau bagian kosong di surat suara.

Mantan Menteri Agama Prof. KH Sjaifuddin Zuchri berpidato dalam kampanye partai NU Wilajah DKI Jakarta yang terakhir di lapangan Banteng Jumat 25 Juni 1971. (Kompas/Pat Hendranto)

Gerakan Golput kemudian menjalar ke kota-kota lain, namun pemerintah Orba mengatakan tindakan Golput bertentangan dengan konstitusi. Akibatnya, pemerintah Orba menyatakan Golput ilegal dan menangkap beberapa orang yang menggerakkannya.

Pelan-pelan kampanye Golput tidak lagi terlihat dalam politik, meski kenyataannya tetap tidak bisa lepas di setiap perhelatan Pemilu sampai sekarang.

Identik dengan Ketidakpedulian

Meski gerakan Golput selalu ada di setiap perhelatan Pemilu, menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, data Golput pada Pilpres 2019 mencapai 19,24 persen. Angka tersebut melawan tren Golput yang terus naik sejak Pemilu pascareformasi. Sebagai informasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat Golput pada Pilpres 2004 adalah 23,30 persen, lalu terus naik menjadi 27,45 persen dan 30,42 persen pada 2009 dan 2014.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan Golput selalu diidentikkan dengan bentuk tidak peduli dan kekecewaan. Gerakan Golput menurutnya akan menimbulkan masalah politik dan berdampak besar terhadap pembangunan bangsa.

"Golput itu bukan pilihan, Golput itu bentuk ketidakpedulian dan kekecewaan yang justru akan menimbulkan masalah politik dan berdampak terhadap pembangunan bangsa," kata dia, dikutip dari Antara.

Mahasiswa Ubaya menunjukkan karya rubik untuk mengampanyekan antiGolput ke Gen Z. (Antara/Willi Irawan)

Ujang menuturkan, Golput karena sikap apatis tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi memberikan dampak terhadap pembangunan bangsa. Karena itu, kata Ujang sekurang apapun kandidat Capres dan Cawapres yang ditawarkan, tetap harus dipilih sesuai hati nurani dan rasionalitasnya.

“Pilih yang terbaik dari yang ada menurut hati dan rasionalitas,” tegasnya.

Tak hanya itu, praktik Golput juga dianggap berpengaruh terhadap legitimasi Pemilu itu sendiri. Artinya, jika partisipasi pemilih rendah, maka Pemilu dianggap gagal.

“Dalam konteks ini, legitimasi Capres Cawapres yang terpilih pun akan rendah. Oleh karena itu, tingkat partisipasi itu penting," Ujang menegaskan.

Golput adalah Haram

Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk Faisal Ali mengharamkan Golput atau tidak memilih dalam Pemilu 2024.   

"Karena memilih pemimpin dalam Islam itu hukumnya wajib, jika Golput berarti tidak memilih, maka haram hukumnya," kata Tgk Faisal Ali.

Ia menegaskan sikap MPU Aceh berdasarkan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengharamkan Golput dalam Pemilu. Landasan hukum haram Golput sendiri berdasarkan fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Masa’il Asasiyah Wathaniyah atau masalah strategis kebangsaan yang ditetapkan pada 26 Januari 2009 dengan judul Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum.

Terdapat lima butir yang tertera di fatwa tersebut, salah satunya adalah memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat sebagaimana butir empat atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Seorang pemilih menunjukan jari kelingking yang sudah dicelup tinta usai memilih pada simulasi pemungutan dan penghitungan suara di TPS, Jakarta, Jumat (14/2). (Antara/Muhammad Adimaja)

"Landasan MUI memilih fatwa seperti itu berdasarkan pandangan Islam memilih pemimpin wajib sehingga jika tidak menghasilkan pemimpin hukumnya haram, termasuk Golput," ujarnya.

Ajakan untuk tidak Golput pada Pemilu 2024 juga diserukan Ketua Umum Komunitas Aktivis Milenial Indonesia Gen KAMI Ilham Latupono. Ia mengajak pemilih muda dari kelompok milenial dan Gen Z menggunakan hak pilih.

Ilham menegaskan, partisipasi pemilih muda pada Pemilu dapat menentukan nasib keberlanjutan proyek strategis dan pembangunan infrastruktur yang berjalan masif dalam 10 tahun terakhir.

“Anak muda anti-Golput. Ini bukan cuma soal hak politik kita, tetapi Pemilu kali ini sangat krusial dan menentukan masa depan Indonesia, nasib kaum muda sendiri, bahkan nasib anak-anak kita kelak," ucap Ilham melalui keterangan resmi.

Seperti diketahui, jumlah calon pemilih kelompok milenial dan Gen Z mencapai sekitar 55 persen dari total jumlah pemilih. Atas dasar inilah, Ilham menilai besarnya dampak partisipasi politik pemilih muda bisa memperkuat peluang bangsa mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045.

"Indonesia Emas itu milik anak-anak muda, bukan mereka yang saat ini usianya sudah di atas setengah abad," ucap dia.