Bagikan:

JAKARTA – Gerakan civitas akademika berpotensi meluas jika pemerintah tidak memberikan respons positif. Tudingan bahwa gerakan ini diakomodir oleh kepentingan kelompok dinilai hanya akan memantik kemarahan masyarakat.

Belakangan ini civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia ramai memberikan kritik terhadap sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap Pemilu 2024.

Pada intinya, gerakan petisi kampus ini adalah bentuk keresahan moral atas apa yang terjadi di Indonesia. Awalnya ada Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia yang menyatakan kerisauan terhadap kondisi demokrasi saat ini. Gerakan tersebut kemudian diikuti Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Padjadjaran dan kampus-kampus lainnya.

Terkini, civitas akademika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyampaikan “Deklarasi Rawamangun” agar pelaksanaan Pemilu 2024 dapat berlangsung bersih dan damai.

Civitas akademika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) membacakan "Deklarasi Rawamangun" untuk pemilu bersih dan damai di Plaza UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (6/2/2024). (Antara/Syaiful Hakim)

Pembacaan deklarasi dihadiri guru besar, dosen, dan mahasiswa itu digelar di Plaza UNJ, Rawamangun, Jakarta Timus, Selasa (6/2/2024).

Dosen Sosiologi UNJ Ubedilah Badrun mengatakan, deklarasi ini didasarkan keprihatinan civitas akademika UNJ atas berbagai realitas tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik belakangan ini.

"Kami civitas akademika UNJ sebagai universitas perjuangan yang memiliki jejak perjalanan sejarah panjang sejak kelahirannya hampir enam dekade silam dengan penuh kesadaran menyampaikan keprihatinan yang dalam atas berbagai realitas tata kehidupan sosial, ekonomi dan politik negeri kita akhir-akhir ini," kata Ubedilah, dikutip Antara.

Supaya Kembali ke Jalan yang Benar

Gerakan petisi kampus ini merupakan wujud kegelisahan para guru besar atas rusaknya demokrasi Tanah Air. Akarnya dimulai dari pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, yang meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju dalam kontestasi politik.

Apa yang dilakukan Jokowi tidak lagi bisa ditoleransi karena ia memanfaatkan MK untuk melanggengkan dinasti dan kekuasaan.

Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, gerakan di sejumlah kampus terjadi bukan tanpa sebab. Dijelaskannya, ketika kampus sudah bergerak berarti sudah ada pertimbangan, melewati kajian dan identifikasi masalah hingga berada pada kesimpulan bahwa pemerintah telah menyimpang.

Sejumlah dosen dan mahasiswa menggelar aksi di Universitas Jember, Jawa Timur, Senin (5/2/2024). Dalam aksinya ratusan civitas akademika Universitas Jember menuntut dihentikannya politisasi kebijakan negara menjelang Pemilu 2024 dan meminta KPU, Bawaslu serta pemerintah memastikan netralitas penyelenggara negara. (Antara/Seno/rwa)

“Ketika kampus yang bergerak, berarti ini adalah bentuk keprihatinan terhadap apa yang terjadi. Kampus adalah penjaga moral terakhir, saat ada gerakan ini berarti sudah sampai antiklimaks,” kata Karyono ketika dihubungi VOI.

“Siapa lagi kalau bukan kampus yang melontarkan kritik untuk mengingatkan, kritik yang konstruktif kepada penguasa. Ini dilakukan agar penguasa kembali ke jalan yang benar, kembali on the right track, sesuai dengan cita-cita, ideologi, Pancasila, undang-undang, visi misi awal,” sambungnya.

Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, menurut Karyono kritik terhadap pemerintah adalah hal yang wajar.  Tapi sayangnya, gerakan tersebut mendapat respons dingin dari istana.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan, Presiden Jokowi menghormati hak setiap orang berpendapat, termasuk para civitas akademika. Namun, ia menyampaikan dugaan ada strategi politik partisan untuk kepentingan elektoral di tengah pertarungan opini di tahun Pemilu.

"Kita cermati di tahun politik, jelang Pemilu pasti munculkan sebuah pertarungan opini, penggiringan opini. Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral," kata Ari di Kompleks Kemensetneg, Jumat (2/2/2024).

Tuduhan Menyakitkan

Karyono juga menyayangkan sikap istana yang justru melancarkan serangan balik dengan menyebut gerakan ini diorganisir kelompok tertentu. Ia menegaskan ini adalah tudingan menyakitkan dan dianggap sebagai pelecehan terhadap dunia akademik.

“Tuduhan ini menyakitkan dan berbahaya. Tuduhan seperti ini justru akan menimbulkan kesan bahwa penguasa antikritik,” tegas Karyono.

Ia khawatir, serangan balik yang dilancarkan kubu penguasa hanya akan memancing lonjakan kemarahan kaum intelektual yang bisa berdampak besar.

Menurut Karyono, penguasa memiliki hak untuk menjawab gerakan civitas akademikanamun bukan berarti melakukan counter attack berbentuk tuduhan tanpa dasar. Menjawab keresahan para guru besar dengan memberikan data dan fakta dikatakan Karyono akan jauh lebih elegan ketimbang melakukan serangan.

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan kepada wartawan di Gerbang Tol Limapuluh, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatra Utara, Rabu (7/2/2024). (Antara/HO-BPMI Setpred-Muchlis Jr/pri)

“Kalau penguasa merespons dengan serangan balik, berarti hanya tinggal menunggu waktu, akan terjadi lonjakan kemarahan kaum intelektual,” ia menambahkan.

“Jadi semua ini tergantung respons pemerintah, kalau responnya menyerang, responnya negatif akan membuat kemarahan meningkat, sehingga mengakselerasi gerakan turun ke jalan,” katanya lagi.

Terakhir Karyono Wibowo mengingatkan agar pemerintah lebih arif dalam menyikapi gerakan civitas akademika, serta menerima kritik dari para tokoh termasuk tokoh lintas agama supaya gerakan ini tidak berujung chaos.