Bagikan:

JAKARTA – Gerakan salam empat jari ramai dibahas di media sosial sejak beberapa pekan lalu. Gerakan ini disebut-sebut untuk menyudutkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Adalah John Muhammad, aktivis yang menjabat sebagai Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia, yang memelopori gerakan salam empat jari. Inti dari gerakan salam empat jari adalah mengajak para pemilih untuk tidak mencoblos Paslon nomor urut dua pada 14 Februari mendatang.

“Saya mewakili kelompok orang yang tidak menginginkan 02 menang. Jadi, perlu ada koalisinya. Mengapa empat jari? Karena 01 ditambah 03. Tapi empat jari juga punya makna, kita membela demokrasi,” ucap John.

Fenomena gerakan empat jari ini juga sempat muncul dalam film dokumenter Dirty Vote, yang menjadi perbincangan publik setelah tayang pada Minggu (11/2/2024).

Berkaca pada Pilkada DKI Jakarta 2017

Zainal Arifin Mochtar, salah satu ahli hukum tata negara yang tampil di Dirty Vote menyinggung soal wacana Pemilu satu putaran dan mengaitkannya dengan gerakan salam empat jari.

Wacana Pemilu satu putaran memang gencar digaungkan Paslon nomor urut dua. Menurut sejumlah survei, pasangan Prabowo-Gibran konsisten berada di posisi teratas, mengungguli dua pesaingnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Mengapa Paslon 02 begitu gencar menggaungkan Pilpres satu putaran, menurut sejumlah analis ini dilakukan karena ada kemungkinan mereka justru kalah di putaran kedua.

Zainal pun menjelaskan, dalam ilmu politik dan hukum ketatanegaraan, Pemilu seringkali melahirkan dikotomi pro status quo dan pro perubahan. Ia mencontohkan bagaimana di Pilkada DKI Jakarta 2017, pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat justru kalah pada putaran kedua meski mereka unggul di berbagai survei dan memenangi putaran pertama.

Tangkapan layar film Dirty Vote, saat ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menjelaskan hasil survei sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017. (YouTube Dirty Vote)

"Bahkan dalam tingkat lokal pernah terjadi dalam konteks Pilkada DKI Jakarta. Sebenarnya pasangan Ahok dan Djarot yang kita ketahui didukung juga oleh Presiden Jokowi kala itu senantiasa secara konstan memenangkan posisi paling atas," Zainal menjelaskan.

"Tetapi yang terjadi adalah putaran kedua keadaan tersebut berbalik karena bersatunya kekuatan pengkritik atau bersatunya kekuatan yang melawan orang yang paling teratas itu," imbuhnya.

Zainal melanjutkan, pada putaran kedua keadaan berbalik menjadi kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang meraih 58 persen suara, mengalahkan Ahok-Djarot dengan 42 persen suara. Menurut Zainal keadaan ini terjadi karena bersatunya suara yaitu kubu Anies dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Tangkapan layar film Dirty Vote, saat ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menjabarkan hasil putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017. (YouTube Dirty Vote)

Selanjutnya Zainal juga menyinggung gerakan empat jari, yang menurutnya gerakan tersebut sebagai penggabungan Paslon 01 dan 03.

"Ada lagi yang harus anda ingat bahwa ada yang namanya gerakan empat jari yang seakan-akan menjadi tawaran, seakan-akan menjadi simbol, bahwa ke depan dalam Pilpres kali ini adalah penggabungan kekuatan 01 dan 03 melalui gerakan empat jari," kata Zainal.

Sulit tapi Tidak Mustahil

Koalisi 01 dan 03 sebenarnya sudah dibahas sejak beberapa waktu lalu. Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Centre), Andriadi Achmad mengaku akan sulit mewujudkan kolaborasi antara Koalisi Anies dan Koalisi Ganjar pada putaran kedua melawan kubu Prabowo. Pandangan ini bukan tanpa alasan. Sejarah bahwa PKS, partai yang mengusung Anies, tidak akur dengan PDIP menjadi salah satu penyebabnya.

“Sulit membayangkan terciptanya koalisi antara PDIP dan PKS yang dalam sejarah perpolitikan dalam tingkat nasional tidak pernah terjadi,” kata Andriadi kepada VOI.

Kendati demikian, ia tidak menampik bahwa dalam dunia politik tidak ada kawan maupun lawan abadi, sehingga kemungkinan bergabungnya koalisi Anies dan Ganjar masih mungkin terjadi di putaran kedua untuk menjegal Paslon Prabowo-Gibran. Fakta bahwa PDIP dan Joko Widodo kini tidak lagi harmonis dan PKS yang akhirnya bersatu dengan PKB dalam Koalisi Perubahan menjadi bukti.

Namun, Andriadi memberikan syarat terciptanya Koalisi Anies dan Ganjar pada putaran dua, yaitu mencairnya hubungan Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh.

“Artinya koalisi antara kubu Anies dan kubu Ganjar bersatu pada putaran kedua jika Megawati dan Surya Paloh bersepakat. Sebagaimana kita ketahui belakangan ini PDIP dan Nasdem pecah kongsi,” pungkas dosen di Universitas Al Azhar Indonesia ini.