JAKARTA - Kasus korupsi yang menyeret mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) disebut kental dengan nuansa politis. Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri diduga terlibat dalam kasus pemerasan terhadap SYL.
SYL, yang merupakan politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) sempat menghilang saat melakukan perjalanan ke Eropa, seusai dikabarkan menjadi tersangka dugaan kasus korupsi jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
Namun SYL akhirnya tiba di Indonesia pada 4 Oktober 2023 petang. Ia akhinya resmi menjadi tahanan KPK per 12 Oktober.
Menteri NasDem Jadi Target
Namun, kasus yang menyeret SYL kemudian diyakini tidak murni hanya urusan hukum semata. Menurut pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago, kasus yang melibatkan politisi NasDem itu sangat kental dengan nuansa politis.
“Hampir semua menteri pasti ada celahnya, ini hanya persoalan waktu. Dan sekarang sedang tahun politik. Lalu kenapa hanya politisi yang dihajar? Ini namanya politisasi hukum,” kata Pangi saat dihubungi VOI.
Opini serupa juga diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin. Ia meyakini bahwa para menteri dari Partai NasDem memang sudah ditargetkan terlibat kasus hukum sejak Surya Paloh resmi mendukung Anies Baswedan pada Pilpres 2024.
“Ya, cuma apakah selamat atau tidak tergantung garis tangan. Apakah ini bersifat politis? Ya, tentu (pelibatan dalam) korupsi itu tidak lepas dari persoalan politis,” kata Ujang.
Meski demikian, Pangi yakin kasus korupsi yang menjerat SYL tidak akan memengaruhi elektabilitas pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem masuk dalam Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024.
Ketika kader partai terlibat dalam kasus korupsi tentu akan memengaruhi elektabilitas Capres, namun menurut Pangi pengaruhnya tidak besar.
“Sebenarnya masyarakat Indonesia ingin pemimpin yang bersih, yang dekat dengan rakyat, perhatian kepada rakyat. Ketika tren pemimpin itu bersih, maka sangat berpengaruh,” kata Pangi, yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
“Memang ada pengaruh ketika kader partai terlibat korupsi, tapi itu kecil sekali. Yang paling besar tetap figur Capresnya. Selama Capresnya dianggap bersih, pengaruhnya hanya sedikit bahkan hampir tidak ada. Jadi tidak ada korelasinya selama figur Capresnya bersih,” imbuh Pangi.
KPK Mendapat Perlawanan
Yang membuat kasus korupsi SYL menjadi lebih pelik adalah adanya dugaan pemerasan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dugaan tersebut diperkuat beredarnya foto Firli bersama SYL di sebuah GOR Bulutangkis.
Pertemuan Firli dengan SYL terjadi pada 2 Maret 2022, sementara KPK mulai penyelidikan di Kementan pada 16 Januari 2023. Firli menegaskan saat terjadi pertemuan, SYL tidak memiliki perkara korupsi.
Firli memperkuat argumentasinya dengan menyebutkan Nota Dinas Deputi Penindakan KPK Sprin.Lidik-05/Lid.01.00/01/01/2023, tertanggal 16 Januari 2023. Sementara tahap penyidikan terhadap SYL dimulai tanggal 26 September 2023 dengan dasar Sprin.Dik/122/DIK.00/01/09/2023.
Firli dijadwalkan menghadapi penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi dugaan pemerasan terhadap SYL pada Jumat (20/10/2023). Namun, ia tidak hadir dengan alasan telah memiliki agenda lain.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menduga Firli panik karena dipanggil Polda Metro Jaya.
“Padahal kalau merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa, kenapa harus khawatir. Ini pertanda Firli memang sedang panik,” ujar Herdiansyah.
Ia juga menyayangkan pernyataan pihak KPK yang menyebut Firli perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari materi pemeriksaan tersebut.
Di sisi lain, Pangi mengatakan pemeriksaan yang dilakukan Polda Metro Jaya terhadap Firli adalah hal positif. Karena menurut Pangi, sejatinya tidak ada lembaga yang dominan di Indonesia. Pemeriksaan terhadap Firli bisa menjadi ajang saling koreksi antarlembaga.
BACA JUGA:
“KPK sekarang ini seperti mendapat perlawanan dari Polda. Tapi sebenarnya ini bagus untuk saling mengoreksi, saling kontrol, sehingga tidak ada lembaga yang merasa benar-benar dominan,” Pangi menjelaskan.
“KPK di era dulu seperti Tuhan, seolah-olah tidak ada yang bisa mengoreksi. Sekarang justru bagus karena tidak ada yang dominan,” pungkasnya.