JAKARTA - Program food estate atau lumbung pangan di era Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) kembali menuai cibiran. Digadang-gadang sebagai salah satu upaya memperkuat ketahanan pangan, food estate malah menjadi salah satu penyebab krisis iklim. Seperti peribahasa: maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Bercita-cita tinggi, namun tak ada upaya untuk mewujudkannya.
Program ini merupakan ide visioner Gubernur Kalimantan Tengah Sugiarto Sabran yang diusulkan langsung kepada Presiden Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 2017.
Pembangunan food estate Kalimantan Tengah dimulai sejak 2020. Luas lahan yang digarap pada tahap awal, Oktober dua tahun lalu, sebesar 30.000 hektare dari total 1,4 juta hektare lahan food estate keseluruhan. Pembangunan food estate dilakukan pertama kali di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara. Ke depannya, food estate direncanakan juga dilakukan di provinsi lain. Program yang dimulai pada 2020 ini rencananya berakhir pada 2025.
Tiga tahun berlalu dan food estate di era Presiden Jokowi dinilai tak hanya gagal, tapi juga jadi penyebab bencana. Lahan mangkrak yang digunakan untuk food estate justru berpotensi menjadi penyebab kebakaran.
Food Estate di Masa Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono
Food estate merupakan istilah populer dari kegiatan usaha budi daya tanaman skala luas di atas 25 hektare yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Konsep dasar food estate diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsector, dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari. Dikelola secara profesional, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh.
Dikutip dari laman pertanian.go.id, food estate atau lumbung pangan merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 guna membangun lumbung pangan nasional pada lahan seluas 165.000 hektare. Pada tahun 2020, dikerjakan seluas 30.000 hektare sebagai model percontohan penerapan teknologi pertanian 4.0.
Program food estate tidak hanya dilakukan di era Presiden Jokowi. Adalah Presiden Soeharto yang mempelopori program lumbung pangan ini melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995. Presiden kedua Republik Indonesia itu membuka Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar sawah di Kalimantan Tengah.
Namun, keberadaan program PLG itu diputuskan berakhir dan gagal tiga tahun kemudian melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di masa pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie. Food estate yang menghabiskan dana sekitar Rp1,7 triliun ini gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut. Akibatnya, program ini memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebaran hutan.
Program food estate jilid dua diupayakan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disebut dengan program Merauke Integrated Energi Estate (MIFEE) tahun 2010. MIFEE diterbitkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009.
Inti dari program ini adalah membuka lahan untuk sawah 1,2 juta hektar di Merauke, Papua. Program MIFEE kembali tidak berhasil. Kerusakan hutan sagu rakyat tak terelakkan. Masyarakat setempat akhirnya kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu, ikan, dan daging rusa atau babi setelah hutan-hutannya dikonversi.
Tak berhenti sampai di situ, pemerintah era SBY kemudian membuka lahan di Kalimantan Utara pada 2011 untuk mencetak 30.000 hektare sawah di Kalimantan Utara. Dan lagi-lagi proyek tersebut menemui kegagalan.
Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan
Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB Dwi Andreas Santosa menilai program food estate yang dimulai dari pemerintahan Soeharto sampai Jokowi gagal karena beberapa faktor. Menurutnya, kegagalan itu terjadi karena pemerintah melanggar empat pilar pengembangan lahan pertanian skala besar, yaitu ketidaksesuaian tanah yang dijadikan tempat food estate, persoalan infrastruktur, budidaya dan teknologi, serta sosial ekonomi.
Sementara itu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian menilai kegagalan food estate sejak era Soeharto sampai Jokowi ini dikarenakan adanya paradigma yang salah. Program food estate untuk memenuhi ketahanan pangan hanya akan menghabisi lahan produktif. Itu karena ketahanan pangan tidak memperhatikan dampak atas wilayah yang dijadikan food estate.
BACA JUGA:
“Sejauh ini belum melihat dampak positif dari program food estate, karena ini tidak menjawab problem yang ada. Seharusnya pemerintah melihat lingkungan, budaya, tradisional lingkungan setempat dan menghormati pangan yang dihasilkan,” ujar Uli saat berbincang dengan VOI.
Pemicu Krisis Iklim dan Karhutla
Cita-cita mencegah ancaman krisis pangan di Indonesia yang digagas Jokowi kembali gagal. Perkebunan singkong di di Kalimantan Tengah seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen. Program food estate di Kalteng hanya memicu masalah baru. Mulai dari bencana banjir yang kian meluas dan berkepanjangan, sampai memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan menanam.
Lahan yang dijadikan sebagai Lumbung Pangan Nasional ini sebelumnya adalah hutan yang menjadi andalan penduduk setempat. Mereka memanfaatkan hutan gambut untuk mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional.
Ketika disulap menjadi program food estate, masyarakat setempat tak bisa berbuat banyak lantaran tidak ada musyawarah oleh perangkat dengan soal program food estate atau pembukaan kebun singkong. Salah satu penyebab kegagalan kebun singkong tersebut karena kondisi tanah yang tidak cocok, karena karakteristik tanahnya 70 persen adalah pasir. Menurut Uli masyarakat setempat-lah yang lebih tahu mengenai kondisi tanah sehingga memaksakan program food estate dengan mengubah kebiasaan masyarakat justru hanya akan menyisakan kerusakan.
“Ketika program food estate diserahkan kepada pengusaha, hanya akan menghabisi lahan produktif, padahal yang paling tahu soal lahan itu masyarakat setempat,” Uli menambahkan.
Proyek food estate era Jokowi pun menuai banyak kritik, termasuk dari Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kritiyanto. Dia menyebut lumbung pangan ini sebagai “kejahatan lingkungan”.
“Food estate-nya tidak digarap dengan baik. Food estate dalam kerangka untuk mewujudkan Indonesia berbuat bidang pangan merupakan sikap politik dari PDI Perjuangan. Yang kami kritisi adalah setelah berjalan sekian lama, ternyata hutan yang sudah ditebang itu terbengkalai,” ujar Hasto.
Terkait dampak lingkungan yang mengancam akibat pembukaan lahan untuk food estate sebenarnya sudah disuarakan oleh para pegiat lingkungan sejak lama. Namun pemerintah bergeming dan mantap melanjutkan program lumbung pangan ini.
Tim Kajian Pantau Gambut pada Maret lalu menemukan adanya indikasi deforestasi meluas. Tak hanya deforestasi dan risiko banjir meluas, food estate yang menggunakan lahan gambut juga berpotensi menjadi trigger kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Di Kalimantan Tengah, kawasan food estate yang digunakan adalah lahan gambut. Melihat tipologi gambut, ketika kering dia mudah sekali terbakar. Kalau food estate terjadi di wilayah gambut dan kemudian terbengkalai, maka ini bisa menjadi salah satu penyebab karhutla,” papar Uli.
Sampai Juni 2023, setidaknya ada 38 kasus karhutla yang terjadi di Kota Palangka Raya dengan luasan mencapai 27,20 hektare. Kasus karhutla terjadi hampir di semua kecamatan di Kota Palangka Raya, kecuali wilayah Kecamatan Rakumpit.
“Berdasarkan data pada bulan Mei hingga Juni memang kasus Karhutla mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dengan rincian Kecamatan Jekan Raya ada 19 kasus, Pahandut 4 kasus, Sebangau 12 kasus, Bukit Batu 3 kasus, sementara untuk wilayah Rakumpit sendiri idak ada,” kata Kepada BPBD Kota Palangka Raya, Emi Abriyani.
Kini setelah lahan food estate kembali mangkrak dengan ancaman bencana dan krisis iklim di sebagian wilayah Indonesia, sudah saatnya pemerintah berpikir ulang.
Melakukan evaluasi dan koreksi sebelum kerusakan makin meluas. Sejumlah kebijakan yang dapat melanggengkan pembukaan lahan juga perlu dievaluasi.
“Butuh perhitungan yang lebih dalam dan panjang. Untuk wilayah yang belum operasioinal sebaiknya dihentikan. Yang sudah berjalan sebaiknya dievaluasi. Landasan regulasinya didukung oleh aturan-aturan yang merujuk pada Undang-Undang Cipta Tenaga Kerja. Selama masih dibuka ruang untuk pembukaan lahan, maka sampai kapan pun undang-undang ini menjadi legitimasi untuk food estate,” Uli menandaskan.