Bagikan:

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memantau penyelenggaraan Aksi 212 yang digelar di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Tujuannya, untuk melihat keterlibatan anak-anak dalam aksi demonstrasi tersebut. 

Dugaan Ketua KPAI Jasra Putra terbukti. Saat demo berlangsung Jasra melihat banyak anak usia sekolah yang berkeliaran di sekitar lokasi demo. Beberapa anak yang dijumpai Jasra, mereka mengaku hanya ikut-ikutan dan tak tahu apa isi tuntutan aksi. 

"Penyampaian pendapat di muka umum adalah hak warga negara, tapi untuk melibatkan anak tentu harus memperhatikan hak-hak anak. Seharusnya, dia sekolah tapi tidak sekolah, harusnya dapat makan tapi enggak dapat. Ini kan tidak ada yang tanggung jawab," kata Jasra di lokasi, Jumat, 21 Februari. 

Sebenarnya, ini bukan kali pertama KPAI memantau keterlibatan anak dalam aksi unjuk rasa. Sudah beberapa kali meski hanya berujung imbauan tanpa tindakan yang tegas.

Untuk demonstrasi kali ini, KPAI melakukan kontak 2 hari sebelum aksi kepada koordinator aksi agar tidak melibatkan anak-anak. Tapi kenyataannya, tetap masih ada anak-anak yang terlibat di sana.

Menurut KPAI, kondisi kerumunan massa di ruang terbuka, dengan orasi yang kadang melupakan emosi ini dapat memengaruhi kondisi psikologi anak. Bahkan, sewaktu-waktu berdampak buruk kepada anak anak. 

Namun, KPAI tak bisa menghalangi secara langsung kepada anak-anak untuk tidak ikut melakukan demo. "Pendekatan yang kami lakukan tetap dilanggar korlap aksi. Dan hari ini berulang aksi 212 yang melibatkan anak anak," ucap dia. 

Melihat terbatasnya kewenangan dalam melakukan tindakan langsung, Jasra menyerahkan penegakan hukum perlindungan anak kepada lembaga lain. KPAI, kata Jasra, meminta Kapolri Idham Aziz segera melakukan tindakan yang bersifat segera untuk menghindari anak anak dari resiko kelelahan, kelaparan, paparan kekerasan yang timbul dari kegiatan aksi demo. 

Selain itu, kata dia, banyak aturan yang melekat bagi bagi pihak sekolah untuk mencegah mereka bolos sekolah dan penyalahgunaan anak-anak dalam demo. Mengingat, dalam Pasal 15 huruf Undang Undang 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak anak harus dilindungi dari penyalahgunaan kegiatan politik. 

"Kita berharap pemerintah daerah termasuk Kepolisian harus sama SOP-nya, karena sekali lagi, banyak hak anak yang dilanggar. Mereka harus kita evakuasi dari situasi demo, apalagi tuntutan, bisa juga tuntutan politik," ungkap Jasra. 

Dia mengatakan, pada UU 23 tahun 2002 ada ancaman pidana yang didapat bila melibatkan anak dalam sebuah aksi demonstrasi. Hukumannya lima tahun penjara, namun itu sudah direvisi.

Dia tak ingin ada anak-anak yang terlibat dalam aksi seperti ini, karena menganggap mereka belum paham dampak aksi demonstrasi. Dia menyayangkan, polisi tak bisa memberikan pengamanan anak-anak pada aksi ini. Padahal, menurutnya, polisi berhasil melakukan pengamanan dengan mencegah anak terlibat aksi demonstrasi di DPR beberapa waktu lalu.

"Memang ini perlu pengendalian dari banyak pihak dan solusi lain. Negara jangan kalah degan tidak adanya sangsi," katanya. 

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyatakan pihaknya secara rutin melakukan imbauan kepada peserta demo yang melakukan perizinan untuk tidak mengikutsertakan anak-anak. 

"Polisi sudah melakukan protap dalam bentuk imbauan kepada penyelenggara aksi saat mereka melakukan proses pengajuan izin," ujar Yusri saat dihubungi VOI. 

Namun, faktanya imbauan tersebut masih tidak digubris oleh penyelenggara aksi. Hingga saat ini, masih saja ada aksi unjuk rasa yang mengikutsertakan anak-anak menjadi peserta. 

Sebagai informasi, Massa Front Pembela Islam (FPI), GNPF Ulama, dan Alumni Persaudaraan (PA) 212 akan menggelar aksi unjuk rasa bertajuk 'Berantas Mega Korupsi Selamatkan NKRI' di depan Istana Negara, Jakarta. 

Pada aksi yang akan berlangsung, Jumat, 21 Februari, sekitar pukul 13.30 WIB, massa akan berorasi soal tak rampungnya perkara dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan suap yang menjerat Harun Masiku dan Wahyu Setiawan.