JAKARTA – Kasus sengketa lahan yang terjadi di Perumahan Green Village, Bekasi bisa menjadi pembelajaran agar lebih selektif ketika akan membeli rumah sebagai tempat tinggal. Selain fisik, pembeli rumah juga harus mengetahui kredibilitas pengembang.
“Cek surat-suratnya, perizinannya, wilayahnya. Kalau perlu cek rencana kotanya terlebih dahulu,” kata Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Bambang Ekajaya kepada VOI pada 28 Juni 2023.
Itu dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan kedepannya.
“Jangan sampai setelah tinggal bertahun-tahun, tiba-tiba kita baru sadar, rumah yang kita tempati adalah lahan sengketa,” lanjutnya.
Tengok yang terjadi dengan penghuni 10 rumah di Perumahan Green Village, Bekasi. Penghuni sudah tidak lagi memiliki akses keluar-masuk mobil karena lahan jalan yang berada di depan rumah ternyata milik pihak lain.
Satu dari 10 rumah tersebut bahkan terbelah dalam dua kepemilikan. Dari luas tanah 79 meter persegi, ternyata 25 meter persegi nya milik Liem Sian Tjie.
Liem diketahui adalah warga pemilik lahan yang sempat bertikai dengan PT Surya Mitratama Persada (SMP) selaku pengembang Perumahan Green Village. Liem menggugat secara hukum karena menganggap PT SMP telah menyerobot lahan miliknya.
Putusan pengadilan memenangkan Liem. Lalu, pada 20 Juni 2023, dia membuat pagar pembatas dan mengumumkan bahwa lahan yang selama ini diakui sebagai lahan Green Village adalah lahan miliknya.
"Pengumuman tanah ini milik Liem Sian Tjie berdasarkan sertifikat hak milik (SHM) no.3063 yang dikeluarkan dari Kantor BPN Kota Bekasi dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum lengkap (inkracht van gewijsde)," demikian kalimat yang tertempel di pagar tembok.
Cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengecek kredibilitas pengembang adalah dari rekam jejaknya. Apa saja proyek properti yang pernah digarapnya. Lalu, lihat pula hasil pekerjaannya, apakah pembangunan selesai tepat waktu atau kerap mangkrak.
Pengembang yang baik menyelesaikan proyeknya tepat waktu atau lebih cepat dari yang seharusnya tanpa mengurangi kualitas bangunan. Sedangkan pengembang yang kurang baik menyelesaikan pembangunan melebihi jangka waktu yang ditentukan. Pembangunan yang terlambat otomatis menambah pengeluaran bulanan.
Lalu, apakah kriteria fisik yang dijelaskan sesuai dengan realitasnya. Pastikan juga pengembang sudah mengantongi legalitas seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Jika belum, artinya pembangunan dilakukan secara ilegal. Memiliki IMB atau SHM wajib hukumnya di Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang 28 tahun 2000 tentang Bangunan Gedung.
“Sekarang zaman sudah canggih, sudah bisa dilakukan lewat internet. Melihat tata kota juga bisa lewat online. Kalau ragu bisa cek langsung ke kantor kecamatan area properti yang ingin dibeli,” ujar Bambang.
Menyalahi UU Perlindungan Konsumen
Warga Green Village, khususnya yang terimbas langsung dari sengketa lahan tersebut, kata Ketua RW 07 Yunus Effendi, akan melakukan upaya hukum. Mereka menduga ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pengembang untuk menjebak konsumennya.
Terlebih, menurut Yusuf, diketahui ada oknum pengembang yang sengaja memindahkan patok tanah.
"Kami insya Allah akan berdiskusi dengan warga dan akan melakukan upaya hukum membuat laporan pidana maupun gugatan perdatanya terhadap pengembang, kami duga ada tindak pidana yang dilakukan pengembang," kata Yunus kepada wartawan pada 26 Juni lalu.
Bambang pun menilai kasus ini juga bisa dikategorikan wanprestasi bila ada pernyataan dari pengembang bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari fasilitas perumahan.
“Kalau tidak ada pernyataan baik secara lisan atau tulisan, saya kira tidak bisa disebut wanprestasi,” ucapnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai hak dan kewajiban pengembang.
Pengembang sebagai pelaku usaha, menurut Pasal 7 UU tersebut, memiliki kewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharan.
Pengembang juga dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti seperti tertera dalam Pasal 9 ayat 1 poin k.
Jika di dalam perjanjian, brosur, atau dokumen-dokumen lainnya ternyata pengembang menjanjikan adanya fasilitas-fasilitas perumahan, yang ternyata tidak terpenuhi, maka pengembang tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Terkait itu, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Konsumen juga bisa mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Ini seperti yang tertera dalam Pasal 4 poin e dan h UU Perlindungan Konsumen.
Di sisi lain, pengembang atau pelaku usaha juga memiliki hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Serta, hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, sesuai bunyi Pasal 6 poin c dan d.
Selain menempuh jalur hukum, warga berharap pemerintah maupun instansi terkait bisa tetap memfasilitasi agar ada solusi terbaik.
“Pengembang dan pihak terkait termasuk perbankan mencari solusi untuk warga pemilik rumah. Warga kami membeli dengan cara yang benar, menurut undang undang pembeli yang baik harus dilindungi,” imbuh Yunus.