JAKARTA – Penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Hensinki, Finlandia menyudahi perang sipil yang telah terjadi selama tiga dekade di Aceh.
Meski begitu, trauma yang dirasakan masyarakat sipil akibat perang tetap melekat. Sejumlah orang yang menjadi korban penyiksaan masih mengingat jelas apa yang dialaminya.
Sangking pedihnya penyiksaan, Saifuddin sempat mengalami trauma berat. Kerap terbangun mendadak tengah malam sembari berteriak meminta tolong hingga takut bila mendengar kata Rumoh Geudong.
Ketika berusia lima tahun, dia mengaku sempat ditangkap dan disiksa dengan cara disetrum di dalam Rumoh Geudong. Ini dilakukan agar sang ayah yang dicurigai sebagai bagian dari GAM memberikan informasi mengenai rantai pasokan senjata yang baru disebarkan GAM ke wilayah Kabupaten Pidie.
Saat ini, bahkan, masih ada rasa benci terhadap semua hal yang berkaitan dengan tentara Indonesia.
"Melihat tentara saja rasanya ingin membalas walaupun sekarang, kan, sudah sadar, mereka cuma tugas negara. Berbuat karena perintah," kata Saifuddin dilansir dari BBC.
Komnas HAM pada 2018 sempat memaparkan hasil penyelidikannya bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya di Aceh yang dilakukan oleh tentara Indonesia selama pemberlakuan status Daerah Operasi Militer pada 1989-1998.
Guna menumpas GAM, pemerintah ketika itu melaksanakan Operasi Jaring Merah (Jamer) dengan membuka pos-pos sattis di beberapa wilayah Aceh, Rumoh Geudong yang berlokasi di Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie dijadikan kamp konsentrasi militer sekaligus tempat pengawasan pergerakan GAM.
Alih-alih tepat sasaran, pos-pos sattis tersebut juga menjadi tempat interogasi dan penyiksaan masyarakat sipil.
Komnas HAM menduga telah terjadi perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional dan penghilangan orang secara paksa.
"Kelima tindakan kejahatan yang tersebut di atas merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil sebagai pelaksanaan dari kebijakan penguasa masa tersebut yang dilakukan secara sistematis dan meluas," papar Choirul Anam selaku ketua tim penyelidikan dilansir dari laman resmi Komnas HAM.
Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan kasus Rumoh Geudong kepada Jaksa Agung sebagai bagian dari proses penegakan keadilan melalui mekanisme yudisial pada 2018. Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban, kemungkinan bisa puluhan hingga ratusan orang yang mendapat penyiksaan di sana.
Tidak hanya peristiwa Rumoh Geudong, Komnas HAM juga telah menyerahkan dua berkas peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh, yakni peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh Utara pada 1999 dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan pada 2003.
Upaya Non-Yuridis
Pemerintah pun telah mengakui tiga peristiwa yang terjadi di Aceh tersebut merupakan pelanggaran berat. Kendati begitu, untuk menuntaskannya secara hukum tentu sulit.
Sebab, kata Aktivis HAM Ester Indahyani Jusuf, selalu berbenturan dengan proses politik. Sesuai dengan UU Pengadilan HAM, proses peradilannya harus melalui Pengadilan HAM Adhoc yang dibentuk berdasar usul DPR RI dan Keputusan Presiden.
Proses politik inilah yang menjadi benteng penghambat proses yuridis untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili.
Sehingga, sangat tepat bila pemerintah mengatasinya juga lewat upaya non-yuridis dengan berupaya memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana.
“Adanya Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau disebut Tim PPHAM harus dimaknai sebagai kemajuan dan upaya kreatif dari sisi penanganan korban,” ucap Ester kepada VOI pada Januari lalu.
Program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu saat ini sudah dimulai dari Aceh. Ester menyarankan agar mekanisme pemulihan hak korban dirancang dengan jelas agar nantinya tidak terjadi konflik.
“Harus ada parameternya dulu biar tidak ada kekeliruan. Siapakah korbannya dan siapa ahli warisnya. Jangan sampai ada yang mengaku-ngaku jadi korban. Lalu, menentukan kompensasi. Apakah disamakan dengan standar asuransi atau bagaimana, dan lain sebagainya,” tutur Ester.
Tentu memulihkan trauma bukan pekerjaan mudah. Tidak seperti memberikan bantuan sosial, memberikan keterampilan, atau memberikan beasiswa untuk para korban.
"Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam negara kesatuan Republik Indonesia," imbuh Presiden Jokowi.