Polemik Jilbab SMKN 2 Padang: Jangan-Jangan Momentum bagi Nadiem Hapus Konsep Seragam yang Tak Faedah
Ilustrasi foto siswa SD berseragam (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Aturan penggunaan jilbab pada siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang jadi polemik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bahkan mendesak SMKN 2 menganulir aturan kewajiban pakaian kekhususan agama sebagai seragam. Kami melihat sisi lain. Jangan-jangan ini bisa jadi momentum meniadakan konsep seragam sama sekali. Bukan apa-apa, kami tak dapat menemukan korelasi antara kegiatan pembelajaran dengan penggunaan seragam.

Nadiem mengambil langkah tegas. Perkara ini katanya bukan hanya melanggar nilai Pancasila, tapi juga aturan yang berlaku. "Sekolah tidak boleh sama sekali membuat aturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah. Apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik," katanya.

Mencuatnya masalah ini dinilai dapat jadi momentum bagi pemerintah untuk mengimbau agar sekolah tak lagi mewajibkan seragam sekolah. Bukan hanya tak ada korelasinya dengan pendidikan, kewajiban penggunaan seragam sekolah juga banyak menimbulkan masalah.

Sejarah seragam sekolah

Ilustrasi foto seorang anak SD di Teluk Wondama, Papua Barat (Sumber: Antara)

Sebelum mengupas manfaat dari seragam, kita perlu tahu sejarahnya. Merangkum dari berbagai sumber, penggunaan seragam sekolah di Indonesia mulai gencar diterapkan pada masa penjajahan Jepang. Negara yang pada era Perang Dunia II sarat dengan militeristik membawa nilai disiplin tinggi bagi masyarakat Hindia Belanda, termasuk para pelajar. 

Namun pada waktu itu seragam sekolah belum berwarna-warni seperti sekarang. Aturan warna yang membedakan jenjang tingkat pendidikan itu baru dibuat di masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 1982, lewat Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Dalam SK itu diatur corak warna yang berlaku di tiap tingkatan sekolah, seperti warna merah untuk tingkat sekolah dasar, biru untuk tingkat menengah pertama, dan abu-abu bagi tingkat menengah atas. Pencetus gagasan corak warna dan aturan penggunaan seragam sekolah ini adalah Idik Sulaeman, yang saat itu menjabat Direktur Pembinaan Kesiswaan pada 1979-1983.

Ilustrasi foto siswi berseragam (Sumber: Bulelengkab.go.id)

Penentuan warna pada seragam sekolah punya arti tersendiri. Untuk siswa SD, misalnya. Warna bawahan merah melambangkan energi dan keberanian bagi siswa untuk belajar. Sementara, corak warna biru pada seragam SMP melambangkan kepercayaan diri karena pada masa-masa ini siswa SMP secara umum sedang mengembangkan kepercayaaan dirinya. Dan corak warna abu-abu pada seragam SMA menunjukkan kedewasaan dan ketenangan.

Di beberapa sekolah, terutama swasta, seragamnya bisa berbeda-beda. Konon aturan penggunaan seragam sekolah ini dibuat untuk menutupi kesenjangan sosial antarsiswa. Dongeng ini yang sampai sekarang banyak diyakini orang.

Manfaat semu

Dengan adanya seragam, banyak orang yakin dapat menghilangkan dikotomi si kaya dan si miskin. Tapi pada kenyataannya tidak demikian.

Faktanya, seragam tak bisa menutupi identitas latar belakang peserta didik. Mereka yang berasal dari keluarga berada tetap bisa mengekspresikan kekayaannya dengan atribut lain. Misalnya, sepatu, jam tangan, bahkan jemputan dan kendaraan siswa saat pulang.

Melihat semua siswa berseragam dengan rapi mungkin terasa lebih sedap dipandang daripada membiarkan anak didik memilih sendiri pakaian yang hendak mereka kenakan saat bersekolah. Namun, hal ini tak memberikan pelajaran apapun.

Ilustrasi foto (Sumber: Wikimedia Commons)

Menurut F. Wawan Setyadi dalam buku Menjadi Manusia Bebas, dengan adanya penyeragaman, tidak ada hal yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang-orang bebas yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Maksud Wawan, ketika kita 'dipaksa' memakai seragam, tidak ada hal yang dipertanggungjawabkan melalui seragam tersebut. Lain halnya dengan kebebasan menentukan pakaian sendiri. Seseorang akan belajar mempertanggungjawabkan pilihannya tersebut.

Tak perlu diwajibkan

Senada, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai seragam sekolah tak ada hubungannya dengan pembelajaran dan pendidikan. Oleh karena itu, Ubaid sepakat bila seragam sekolah tak diwajibkan.

"Saya lebih setuju kalau seragam itu tidak wajib. Karena tidak ada korelasi langsung dengan pembelajaran," katanya kepada VOI

Kata Ubaid, seragam memang tak bisa membuat peserta didik menjadi terlihat setara. "Karena seragam ini hanya untuk kepentingan sekolah, branding dan marketing."

Selain itu, Ubaid bilang kewajiban penggunaan seragam juga turut memberatkan orang tua dan menimbulkan masalah di sekolah. "Memberatkan orang tua karena harus bayar untuk seragam dan tidak jarang malah dibisniskan oleh pihak sekolah," kata Ubaid.