Menakar Alasan Paksaan Penggunaan Jilbab Terhadap Siswi Nonmuslim di SMKN 2 Padang
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Paksaan menggunakan jilbab bagi siswi nonmuslim yang dilakukan oleh pihak SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat jadi sorotan publik. 

Cerita ini berawal dari unggahan akun Facebook, Elianu Hia yang merupakan orang tua siswi SMK Negeri 2 Padang. Dia mengunggah video anaknya yang dipanggil pihak sekolah karena tidak menggunakan jilbab. Dia merasa keberatan dengan aturan yang ada karena mereka beragama nonmuslim.

Setelah diberi penjelasan pihak sekolah tidak mau memberikan kelonggaran. Selanjutnya, dengan alasan untuk menjalankan kewajiban, siswi tersebut harus tetap menggunakan jilbab sesuai dengan aturan sekolah.

Video ini lantas viral di media sosial dan menimbulkan banyak kritik hingga akhirnya Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Padang, Rusmadi secara resmi menyampaikan permohonan maafnya. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers yang dilaksanakan pada Jumat, 22 Januari.

"Selaku Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari jajaran staf bidang kesiswaan dan bimbingan konseling dalam penerapan aturan dan tata-cara berpakaian bagi siswi," kata Rusmadi saat itu.

Dia mengatakan, penerapan kewajiban ini merupakan murni kesalahan dari pihaknya dan untuk siswi yang telah mendapatkan paksaan, tetap bersekolah seperti biasanya.

"Ananda J, kelas X OTKP 1 tetap bersekolah seperti biasa. Kami berharap, kekhilafan dan simpang siur informasi di media sosial dapat kita selesaikan dengan semangat kesamaan dalam keberagaman," ungkapnya.

Meski permintaan maaf telah disampaikan oleh pihak SMKN 2 Padang, namun hal ini tak melunakkan sikap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Dia memerintahkan pemerintah daerah memberikan sanksi tegas bahkan melakukan pemecatan terhadap staf di sekolah tersebut yang terlibat dalam kejadian ini.

"Saya minta kepada pemerintah daerah sesuai mekanisme yang berlaku segera berikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terlibat. Termasuk melakukan kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini menjadi pelajaran kita bersama ke depan," kata Nadiem seperti dikutip dari video yang diunggah ke akun Instagram resmi miliknya @nadiemmakarim, Minggu, 24 Januari.

Dia mengatakan perkara intoleransi semacam ini sudah tak bisa lagi ditolerir oleh kementeriannya. Eks bos Gojek tersebut bahkan menyebut pemaksaan yang dilakukan pihak sekolah kepada peserta didiknya ini bukan hanya melanggar nilai Pancasila tapi juga melanggar aturan yang berlaku.

Aturan yang dimaksudnya adalah Pasal 3 Ayat 4 Peraturan Mendikbud Nomor 45 Tahun 2014 mengenai pakaian seragam bagi peserta didik jenjang dasar dan menengah. Nadiem menjelaskan, dalam aturan tersebut disebutkan pakaian khas dasar sekolah memang diatur oleh masing-masing sekolah dan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya.

Selain itu, ada aturan lain yang disinggungnya yaitu Pasal 4 Ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur agar pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif serta Pasal 55 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebut tiap anak memiliki hak untuk beribadah sesuai agama dan berpikir sesuai tingkat intelektualitasnya serta di bawah bimbingan orang tua.

Sehingga, merujuk pada aturan yang ada tersebut maka pihak sekolah tidak boleh sembarangan membuat aturan atau imbauan agar siswa berpakaian tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.

"Sekolah tidak boleh sama sekali membuat aturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah. Apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik," tegasnya.

"Pemerintah tidak akan menolerir guru dan kepsek yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi tersebut," imbuhnya.

Dampak politik identitas yang tumbuh subur

Pengamat pendidikan Edy Suandi Hamid tak menampik hal ini sebenarnya terjadi karena maraknya politik identitas terhadap kelompok tertentu untuk meraih keinginan tertentu yang juga dibarengi dengan merosotnya pemahaman tentang kebangsaaan.

"Turunnya penanaman paham kebangsaan dan kepentingan politik jangka pendeklah yang kemudian sering mengeksploitasi politik identitas ini," katanya saat dihubungi VOI.

Dia memaparkan, politik identitas ini punya dampak buruk jika sampai masuk ke dalam lingkungan pendidikan seperti terjadinya polarisasi. Hal kemudian akan memburuk jika menyebar ke tengah lingkungan masyarakat.

Sehingga, Edy menilai edukasi tentang prinsip dan implementasi nilai Pancasila perlu digalakkan lagi utamanya yang menekankan perihal kebebasan berkeyakinan serta melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. 

Apalagi, dia menilai kejadian pemaksaan penggunaan jilbab terhadap siswi nonmuslim ini terjadi karena nilai Pancasila tak lagi dipahami oleh masyarakat termasuk kaum yang bergerak di bidang pendidikan.

"Karena itu pendidikan nilai Pancasila yang sejak era reformasi tergerus perlu digalakkan lagi," tegasnya.

Lebih lanjut, dia juga menilai, pemerintah harus membuat panduan regulasi yang lebih jelas sehingga masalah pemaksaan semacam ini tidak lagi terjadi dan lembaga pendidikan harus lebih inklusif.

"Selain itu, untuk menghindari hal ini terjadi lagi pemerintah daerah atau lokal juga harus diberi pemahaman yang bersifat proaktif agar tindakan yang bisa bernuansa intoleransi dan pemaksaan penyeragaman simbol keagamaan tidak terjadi lagi," pungkasnya.