JAKARTA – Beredar informasi seorang siswa nonmuslim yang dipanggil oleh pihak sekolah di Padang, Sumatera Barat, karena tidak mengikuti aturan sekolah yang mewajibkan siswinya mengenakan jilbab.
Hal ini menimbulkan kritik dari banyak pihak. Kemudian, Dinas Pendidikan Sumatera Barat lalu mengklarifikasi. Dalam klarifikasi tersebut, Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Padang, Rusmadi, secara resmi menyampaikan permohonan maafnya.
"Selaku Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari jajaran staf bidang kesiswaan dan bimbingan konseling dalam penerapan aturan dan tata-cara berpakaian bagi siswi," kata Rusmadi dalam jumpa pers pada Jumat, 22 Januari malam.
Rusmadi mengaku penerapan kewajiban penggunaan jilbab merupakan kesalahan dari staf sekolahnya. Saat ini, sang siswi yang berinisial J masih tetap bersekolah.
"Ananda J, kelas X OTKP 1 tetap bersekolah seperti biasa. Kami berharap, kekhilafan dan simpang siur informasi di media sosial dapat kita selesaikan dengan semangat kesamaan dalam keberagaman," ucap dia.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, akun facebook Elianu Hia mengunggah video yang berisi pemanggilan seorang siswi nonmuslim karena tidak mengenakan jilbab di SMK Negeri 2 Padang.
Elianu, yang mengaku sebagai ayah sang siswi menjelaskan bahwa mereka beragama nonmuslim, sehingga merasa tidak berkenan untuk mengenakan jilbab. Namun, pihak sekolah bersikukuh untuk menjalankan kewajiban tersebut karena merupakan kebijakan sekolah.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menganggap aturan sekolah yang mewajibkan semua siswi mengenakan jilbab merupakan hal yang berlebihan.
"Kami sangat prihatin dengan fenomena maraknya sikap intoleran di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah. Banyak tenaga-tenaga pendidik yang tidak tepat dalam mengajarkan semangat keberagamaan di kalangan siswa,” kata Huda dalam keterangan tertulis.
Huda bilang, sikap intoleransi keagamaan pada kasus tersebut bukanlah kejadian yang pertama kali. Sebelumnya, juga ada kejadian seorang guru di Jakarta Timur yang meminta siswa-siswanya memilih calon ketua OSIS dengan alasan SARA. Kejadian serupa juga sempat terjadi di Depok, Jawa Barat.
Dari beberapa kasus ini, kata Huda, memperlihatkan bahwa pandangan keagamaan sempit dan kaku telah masuk ke dalam lembaga pendidikan.
Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus menyiapkan kebijakan antisipatif, baik melalui kurikulum maupun pembinaan sumber daya manusia. Sehingga, Lembaga-lembaga pendidikan di tanah air tidak mudah terpapar cara pandang keagamaan yang intoleran.
"Dalam upaya merekrut tenaga dosen atau guru misalnya harus ada screening yang ketat mengenai rekam jejak mereka. Pun demikian, dalam aktivitas belajar mengajar maupun kegiatan ekstra kulikuler jangan sampai ada materi-materi yang disisipi nilai-nilai intoleran," ungkap dia.