Twit Pandji tentang Pekerjanya adalah Pengingat Buramnya <i>Office Hour</i> di UU Cipta Kerja
Pandji Pragiwaksono (Instagram/@pandji.pragiwaksono)

Bagikan:

JAKARTA - Kicauan selebritas, Pandji Pragiwaksono beberapa hari lalu menuai kontroversi. Pandji menelanjangi perspektif menarik bahwa ia adalah orang yang tak masalah menghubungi karyawan dinihari, bahkan di akhir pekan untuk urusan pekerjaan. Perdebatan berputar di etis tak etis. Bagi kami ini lebih dari itu. Twit Pandji adalah pengingat bahwa tak ada payung hukum yang cukup adil mengatur dimensi ini. UU Cipta Kerja yang baru disahkan? Jangan harap. Itu lebih-lebih menjerumuskan pekerja.

Dalam twit berbahasa Inggris, Pandji mengatakan telah mengirim pesan kepada timnya tentang pekerjaan di pukul 00.44 WIB, hari Sabtu. "Orang mengira kerja dengan saya menyenangkan dan penuh dengan tawa. Entrepreneur Pandji sangat berbeda dengan Entertainer Pandji," tulisnya.

Pandji mengaku dirinya merupakan tipe orang yang selalu "mendorong" orang lain, menuntut, dan tidak berbasa-basi. Dia juga bisa memecat orang dengan cepat. 

Pernyataan Pandji menuai kecaman dari banyak pengguna Twitter. Aktor sekaligus host itu dinilai berlaku semena-mena dan menindas karyawannya.

Pemilik akun @nikensupraba, misalnya. Ia mengatakan, "Saya tidak bisa mengerti bagaimana seseorang bisa merasa sangat bangga menghancurkan work-life balance orang lain," tulisnya.

Polemik seperti ini sempat menjadi sorotan di negara-negara Barat sejak beberapa tahun belakangan. Mereka mulai menaruh perhatian serius terhadap hak pekerja untuk melepaskan diri dari urusan pekerjaan selepas jam kantor. Gerakan seperti ini lazim disebut dengan 'right to disconnect'.

Right to disconnect

Paul M. Secunda, dalam tulisan bertajuk The Employee Right to Disconnect yang dimuat "Notre Dame Journal of International & Comparative Law" mengulas detail mengenai permasalahan hak karyawan melepaskan pekerjaannya setelah jam kerja beres. Mulanya ia memaparkan penelitian yang menunjukkan tingkat kelelahan, stres, dan takut kehilangan pekerjaan yang dialami karyawan di AS berada di tingkat yang mengkhawatirkan.

Menurutnya paparan tuntutan pekerjaan yang tiada henti merusak sehatnya lingkungan pekerjaan. Secunda menyebut mayoritas pekerja di Amerika Serikat merasa terlalu banyak bekerja atau kewalahan oleh pekerjaan mereka.

Kebanyakan dari mereka, kata Secunda merasa pekerjaannya seperti tak pernah benar-benar berakhir. Menjadi hal yang lumrah di AS, ketika para atasan, seperti direktur, manajer, dan supervisor menghubungi bawahannya melalui surat elektronik, SMS, atau media sosial setelah pulang kerja.

Para bos-bos perusahaan tak jarang meminta karyawannya segera kembali bekerja hingga meminta agar karyawan menyelesaikan sebuah tugas pada pagi esok hari. Hal itulah yang membuat seolah karyawan tak lagi memiliki batas antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

Hal itu jadi perhatian Prancis lima tahun silam. Negara ini jadi salah satu martir yang memperjuangkan hak mengabaikan pekerjaan setelah jam kerja atau 'right to disconncet'. Mereka menyebut hak untuk meninggalkan pekerjaan setelah jam kerja sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Ilustrasi foto (Mario Gogh/Unsplash)

Untuk mereka, hal itu merupakan bagian "untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat," kata Secunda. Seperti diwartakan Vice, pada 2016 Prancis mengeluarkan Undang-Undang tentang hak memutuskan komunikasi setelah jam kerja atau yang disebut 'disconnect'.

Beleid itu mendorong pemberi kerja memiliki perjanjian dengan karyawannya tentang aturan penggunaan alat digital. Tujuannya untuk menghormati hak karyawan atas waktu istirahat dan kehidupan keluarga mereka. 

Negara tetangga Prancis, Italia juga menerapkan aturan serupa pada 2018. Banyak perusahaan yang mengikuti aturan tersebut, termasuk perusahaan multinasional Volkswagen yang menerapkan aturan server.

Perusahaan itu otomatis menutup server email keluar mulai pukul 6 sore sampai 7 pagi setiap hari. Sementara, di AS, baru New York yang menanggapi permasalahan ini secara serius.

Salah seorang Anggota Dewan, Rafael Espinal memperkenalkan aturan yang "melarang karyawan swasta di New York mengecek dan menjawab email atau bentuk komunikasi elektronik lainnya di luar jam kerja."

Rancangan Undang-Undang itu diajukan sebagai cara untuk mengatur batasan antara kehidupan pribadi dan profesional pekerja. Sialnya, upaya pembahasan beleid tersebut terhenti pada Januari 2019.

Buramnya office hour di UU Ciptaker

Lalu bagaimana di Indonesia? Hukum Indonesia tampaknya masih jauh panggang dari siap untuk mengakomodir permasalahan dalam dimensi itu. Hal ini semakin membuat konsep 'right to disconnect' mustahil untuk diterapkan.

Dari perspektif hukum, menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, secara umum Pandji tak bisa memaksa karyawannya. "Secara umum dia enggak bisa maksa. Artinya kontak boleh aja, tapi kalau enggak dijawab, ya sudah," katanya kepada VOI

Namun, urusan seperti itu bisa menjadi pengecualian bila di awal memang sudah ada kesepakatan dan ada kompensasinya. "Entah pengurangan jam kerja di jam yang lain dan atau upah lembur, atau ada shift kerja," kata Asfinawati.

Demo tolak Omnibus Law (Mery Handayani/VOI)

Sementara itu, jika melihat peraturan ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditambah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, peraturan mengenai kapan waktu dimulai kerja dan berakhirnya jam kerja tidak diatur secara spesifik.

Hal itu dikembalikan pada kesepakatan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama. Beleid yang baru disahkan tahun lalu dengan teknik omnibus law tersebut hanya mengatur soal batas maksimal jumlah jam kerja. Seperti termaktub dalam Pasal 81 Angka 21 ayat 2 UU 11/2020 ketentuan waktu kerja dijelaskan dalam dua skema.

Pertama, skema enam hari kerja dalam sepekan, dengan total tujuh jam per hari dan 40 jam per minggu. Kedua, skema lima hari kerja dalam satu minggu, dengan total delapan jam per hari dan 40 jam per minggu.

Sementara, untuk aturan pekerjaan yang dibuat melebihi ketentuan waktu kerja atau lembur, berdasarkan UU 13/2003, pengusaha yang hendak memberikan pekerjaan lembur juga perlu mendapatkan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan.

Dan jam lembur juga tidak boleh melebihi ketentuan batas waktu kerja lembur. UU Cipta Kerja memperpanjang batasan waktu lembur bagi pekerja.

Sebelumnya, menurut Pasal 78 UU 13/2003 ketentuan waktu kerja lembur paling banyak adalah tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam seminggu. Ketentuan tersebut diubah menjadi paling lama empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu, seperti termaktub dalam Pasal 89 Angka 22 ayat 1 UU 11/2020.