RUU Cipta Kerja yang Dinilai Kesampingkan Hak-hak Pekerja Perempuan
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Omnibus Law RUU Cipta Kerja saat ini tengah menjadi sorotan publik. Dari 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal dalam omibus law ini, namun tidak satu pun pasal yang mencantumkan aturan cuti hamil-melahirkan, dan cuti haid. RUU ini dinilai akan mengancam dan merugikan kaum perempuan di lingkungan tenaga kerja Indonesia.

Saat ini, hak libur dan cuti diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mulai dari pasal 79, 81, 82, 83 dan 84. Dalam UU tersebut, pemberian kesempatan dari pengusaha bagi pekerja atau buruh untuk istirahat dan cuti tertuang di dalam pasal 79 ayat (1).

Kemudian pasal 81 mengatur soal pekerja/buruh perempuan yang bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama. Pasal 82 mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja/buruh perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi buruh yang mengalami keguguran.

Lalu, pasal 83 mengatur kesempatan bagi pekerja/buruh yang anaknya masih menyusu untuk menyusui anaknya selama waktu kerja. Kemudian pasal 84 mengatur bahwa setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak istirahat mingguan, cuti tahunan, cuti panjang, melaksanakan ibadah serta cuti hamil-melahirkan berhak mendapat upah penuh.

Sementara itu, pada draf RUU Cipta Kerja tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam lima pasal di atas. Draf RUU tersebut tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dari empat pasal itu, sebagaimana terjadi untuk pasal-pasal lain di seluruh bagian draf.

Dalam draf RUU Cipta Kerja, poin hak libur dan cuti hanya dibahas pada perubahan atas pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Bunyi Pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.

(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;

c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Kemudian, dalam draf RUU Cipta Kerja, ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Setelah membahas tentang perubahan pasal 79, draf RUU Cipta Kerja tidak membahas aturan perihal cuti atau libur yang lain.

Kegelisahan Pekerja Perempuan

Wardhani Tsatsia (25) menilai, RUU Cipta Kerja justru menjadi bumerang bagi pekerja perempuan. Hak pekerja perempuan yang sebelumnya terjamin dan tertuang di UU nomor 13 tahun 2003, sedangkan di draf RUU Cipta Kerja justru tak mencantumkan aturan terkait hak yang harusnya didapat oleh pekerja perempuan.

"RUU Ciptaker itu bikin orang harus kerja, kerja, kerja kayak robot. Jadi pemerintah lupa, kondisi kesehatan orang beda-beda. Ada yang butuh cuti haid, ada yang enggak butuh-butuh amat karena kalau pas haid enggak sakit," tutur Tsatsia, kepada VOI, Minggu, 16 Februari.

Menurut Tsatsia, harusnya pemerintah tidak menyamaratakan aturan antara pekerja laki-laki dan perempuan. Sebab, cuti haid sangat diperlukan untuk pekerja perempuan, apalagi jika pekerja tersebut mengalami masalah yang menggangu kesehatan ketika masa haidnya datang.

"Gue seringnya kram gitu kalau haid (biarpun enggak tiap bulan), jadi kalaupun dipaksain kerja enggak efektif karena akan lemas dan lebih lamban. Jadi perlu itu cuti haid," jelasnya.

Terkait dengan cuti hamil, Tsatsia menilai, pemerintah perlu memikirkan kembali sebelum memutuskan untuk menghapusnya. Menurut Tsatsia, cuti melahirkan sangat penting untuk mempererat ikatan batin antara ibu dan anak.

"Kalau cuti melahirkan, ya gila saja kalau dihapus. Terus yang ngurusin itu anak baru lahir pemerintah gitu? Namanya ibu, tetep harus bonding sama anak. Itu RUU Ciptaker ngajak cewek nggak sih pas lagi diomongin? Apa cowok semua yang diajak ngomong?," tuturnya.

Serikat Nasional Perempuan Tolak RUU Cipta Kerja

Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi dengan tegas menolak hadirnya RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). RUU yang sedang dirancang oleh pemerintah dinilai akan mengancam dan merugikan kaum perempuan di lingkungan tenaga kerja Indonesia.

BACA JUGA:


Ika mengatakan, omnibus law adalah konsolidasi oligarki politik dan cara terakhir negara menyelamatkan elit politik oligarki. Salah satu yang menjadi sorotan yakni hak cuti hamil.

Ika menjelaskan, dalam omnibus law tidak dijelaskan secara spesifik mengenai fasilitas khusus yang didapat kepada pekerja perempuan yang sedang melahirkan.

"Di Undang-Undang 13 tahun 2003, hak-hak perempuan disebutkan normatif, (pekerja) melahirkan dapat cuti 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan, di omnibus law itu enggak ada. Jaminan seperti itu dihilangkan," kata Ika di Gedung LBH Jakarta, Minggu, 19 Januari.

Menurut Ika, RUU Cipta Lapangan Kerja yang dibentuk oleh pemerintah hanya sekadar menyediakan lapangan pekerja, namun tak memperhatikan kualitas pekerjanya. Omnibus law akan menganggap pekerjanya bukan untuk manusiawi, tapi hanya agar tidak mati hari ini.

"Penyediaan lapangan kerja, tapi tidak untuk meningkatkan kualitas. Pekerja hanya untuk bisa hidup hari ini dan esok hari saja," ucapnya.