JAKARTA – Polemik utang pemerintah kepada PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) kian membesar. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai itu merupakan kewajiban yang harus segera diselesaikan, terlebih sudah ada keputusan hukum yang mendasarinya.
Mahkamah Agung (MA) pada 15 Januari 2010 memutuskan pemerintah wajib membayar deposito berjangka senilai Rp78,84 miliar dan giro Rp76,09 juta. Selain itu, pemerintah juga harus membayar denda 2 persen setiap bulan dari seluruh dana yang diminta CMNP.
“Keputusan itu harus kita hormati meskipun saya mempertanyakan mengapa MA memutuskan pemerintah harus bayar ke CMNP. Riwayatnya bagaimana? Pertimbangannya apa? Saya tidak punya data dan informasi mengenai itu,” kata Piter kepada VOI pada 15 Juni 2023.
Sebab, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saja sudah menolak permohonan pengembalian klaim deposito CMNP di Bank Yama karena dianggap masih satu pemilik yang keduanya dikendalikan oleh putri pertama Presiden Soeharto, Siti Hardianti Rukmana (Tutut).
Seperti yang sempat diutarakan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo berdasar data resmi Ditjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Tutut adalah komisaris utama atau direktur utama PT CMNP dalam kurun waktu 1987 hingga 1999. Persis saat pemerintah mengucurkan dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI).
Tutut juga pengendali dan komisaris Bank Yama dengan kepemilikan saham sebanyak 26 persen, sesuai penyelesaian kewajiban di BPPN.
Bank Yama adalah salah satu bank yang dilikuidasi pemerintah pada 1999, bank yang juga mendapat program penjaminan melalui BLBI untuk memenuhi kewajibannya. Namun bila merujuk Keputusan Menteri Keuangan No.179/KMK.017 tahun 2000, jenis kewajiban yang bisa menerima penjaminan memiliki kriteria tertentu. Tidak semua dijamin.
Pasal 13 ayat 1 poin d menyebut jenis kewajiban bank peserta yang tidak dijamin berdasarkan program penjaminan meliputi kewajiban kepada atau yang berasal dari pihak terkait dengan bank peserta.
Pihak terkait yang dimaksud juga dijelaskan pada ayat 2, yakni:
- Pemegang saham perorangan yang memiliki saham 10 persen atau lebih dari modal disetor bank peserta;
b. Pemegang saham berbentuk perusahaan/badan yang memiliki saham 10 persen atau lebih dari modal disetor bank;
c. Anggota dewan komisaris bank peserta;
d. Anggota direksi bank peserta;
e. Keluarga dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, c, dan d.;
f. Perorangan yang memiliki saham sebesar 25 persen atau lebih dari modal disetor dan/atau yang mengendalikan operasional, pengawasan atau pengambilan keputusan baik langsung maupun tidak langsung atas perusahaanperusahaan/badan sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
- Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan huruf f, dengan kepemilikan 10 persen atau lebih dari modal disetor perusahaan;
- Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat pengaruh dalarn operasional, pengawasan atau pengambilan keputusan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan huruf f, walaupun pihak-pihak tersebut tidak memiliki saham pada perusahaan tersebut;
- Anak-anak perusahaan bank peserta dengan kepemilikan bank peserta lebih dari 25 persen dari modal disetor perusahaan dan/ atau apabila bank peserta mempengaruhi perusahaan tersebut.
“Keputusan Menteri Keuangan itu sangat jelas. Tapi, sekali lagi, keputusan hukum harus tetap dihormati dan dijalankan,” tegas Piter.
Bukan Utang ke Jusuf Hamka
Di sisi lain, publik juga harus memahami duduk perkara utang tersebut, termasuk keberadaan Jusuf Hamka di CMNP. Jusuf Hamka memang menjadi sosok yang menagih pemerintah untuk segera melunasi kewajibannya, tetapi kata Piter, Jusuf bukan pemilik dana deposito itu.
“Tidak bisa disebutkan Jusuf Hamka punya piutang atau pemerintah punya utang kepadanya. Pemerintah memiliki kewajiban kepada CMNP, yang dasarnya adalah putusan MK,” ucap Piter.
Jusuf beserta keluarga dan kongsi bisnisnya, seperti yang diberitakan CNBC, diketahui baru masuk ke CMNP dan menjadi pengendali sejak 2012, sementara penempatan deposito sudah dilakukan sekiranya sejak 1998.
“Pak Jusuf Hamka dalam konteks ini siapa? Lalu, Pak Jusuf pada 1997-1998 atau ketika deposito disetorkan pertama kali posisinya juga apa?” kata Piter.
Saat ini pun, Yustinus mengatakan tak menemukan nama Jusuf Hamka dalam akta perusahaan terbaru per 12 Juni 2023, baik sebagai pemegang saham, komisaris, maupun direksi.
“Jadi kami tidak tahu posisi beliau sebagai apa. Ini perlu diperjelas. Karena pemerintah dalam hal ini berurusannya dengan CMNP," ucap Yustinus dalam keterangannya.
“Maka sejak awal kami menghindari penyebutan Jusuf Hamka karena saat kejadian penempatan deposito dan pemberian kredit, yang berkontrak adalah korporasi dan pemilik/pengurus saat itu yang bertanggung jawab. Dokumen-dokumen yang dimiliki BPPN dan Kemenkeu membuktikan itu,” tambah Yustinus.
Bila melihat profil perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), hanya ada nama anak-anak dari Jusuf, yakni Fitria Yusuf dan Feisal Hamka. Fitri memiliki saham sebesar 9,35 persen, sedangkan Feisal Hamka sebesar 4,93 persen.
Saham mayoritas justru dimiliki perusahaan cangkang yang terdaftar di Singapura, yaitu BP2S SG/BNP Paribas Wealth Management Singapore Branch dengan kepemilikan sebesar 58,95 persen. Sehingga, sulit menelusuri pemilik dari perusahaan ini karena status perusahaan hanya di atas kertas. Bisa beroperasi tanpa kantor, tanpa operasional, hingga tanpa karyawan.
Ketika ditanyakan mengenai posisinya di CMNP, Jusuf Hamka enggan menjelaskan detail. Dia hanya memastikan bahwa dialah petinggi perusahaan tersebut.
"Terus ngapain Menteri PUPR kalau rapat sama saya? Kan bisa lihat Cisumdawu saya yang bangun itu, CMNP. Kalau saya jawabin nanti malah tidak cerdas nanti kelihatan. Kan saya bilang cerdas-cerdas," ucapnya usai melakukan pertemuan dengan Menko Polhukam Mahfud MD di kantor Kemenko Polhukam pada 14 Juni 2023.
Begitu juga terkait hubungan CMNP dengan Tutut. Jusuf di CNBC mengklaim, CMNP sejak tahun 1997 sudah tidak lagi dimiliki oleh Tutut. Dengan begitu, CMNP tidak lagi terafiliasi dengan Bank Yama. Status ini telah berkekuatan hukum yang dapat dilihat dari putusan MA pada 2010.
BACA JUGA:
Yustinus tak menampik, putusan pengadilan harus dihormati. Pemerintah siap melaksanakan kewajibannya. Hanya saja, karena mengakibatkan beban pengeluaran keuangan negara, maka pelaksanaan putusan tersebut harus memenuhi mekanisme pengelolaan keuangan negara berdasarkan UU Keuangan Negara, terutama prinsip kehati-hatian.
“Perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu. Ini untuk menjaga kepentingan publik yang perlu dibiayai negara maupun penelitian guna memastikan pengeluaran beban anggaran telah memenuhi ketentuan pengelolaan keuangan negara,” tuturnya.
Piter sependapat, permasalahan ini harus clear terlebih dahulu. Berapa nilai kewajibannya, bunganya, dan kesepakatan terakhirnya seperti apa. Biar tidak simpang siur dan merugikan negara.
“Kalau sudah clear semua, pembayaran sangat mudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan sebagaimana pembayaran kewajiban pemerintah yang selama ini dilakukan,” imbuhnya.