JAKARTA – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sengaja mengundang Jusuf Hamka ke kantornya pada 13 Juni lalu. Ini dilakukan untuk meminta penjelasan mengenai utang-piutang pemerintah dan pengusaha jalan tol tersebut.
Sebab, permasalahannya kian sengkarut. Jusuf Hamka sebelumnya menagih pemerintah segera melunasi utang kepada perusahaannya, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Alih-alih mendapat kepastian pembayaran, tiba-tiba muncul tudingan bahwa CMNP juga harus membayar utangnya kepada pemerintah.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada 12 Juni 2023 menyebut CMNP memiliki utang ratusan miliar kepada pemerintah berkaitan dengan dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) lewat tiga perusahaan dalam naungan Grup Citra.
Sehingga karena cukup kompleks dan berbelit, Kementerian Keuangan masih akan memastikan terlebih dahulu utang tersebut sudah tuntas atau belum.
Namun, Jusuf membantahnya dan menantang pemerintah membuktikan utang tersebut. Dia memastikan CMNP tidak memiliki utang ke pemerintah terkait dengan BLBI.
Itulah alasannya, kata Mahfud, “Saya undang beliau ke sini, karena saya oleh presiden diminta untuk menangani masalah utang-utang negara terhadap pihak swasta dan warga masyarakat. Saya ingin memastikan pemerintah yang punya utang kepada Jusuf Hamka, bukan sebaliknya.”
Dari dokumen-dokumen yang diperlihatkan, menurut Mahfud, negara memang telah mengakui memiliki utang kepada Jusuf Hamka.
Pemerintah pada era Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada periode 2014-2016 telah menyepakati membayarkan Rp179,5 miliar ke CMNP. Hanya saja, belum mendapat respon lebih lanjut, bahkan hingga saat ini. Padahal, pembayaran itu seharusnya dilakukan pada semester pertama 2016 dan semester pertama 2017.
“Ganti menteri suruh pelajari lagi, lalu sampai sekarang macet. Ada beberapa kasus serupa lainnya yang saya tangani, sama. Sudah ada putusan pengadilan tapi masih tertunda,” ucapnya.
Mahfud selanjutnya akan mengonfirmasi data-data tersebut dengan Kementerian Keuangan.
Berawal dari Deposito
Utang pemerintah kepada CMNP berawal dari deposito CMNP sebesar Rp78 miliar di Bank Yakin Makmur (Yama). Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998 juga memicu krisis perbankan secara nasional. Banyak bank mengalami kebangkrutan.
Para debitur, terutama konglomerat tidak mampu membayar kewajibannya kepada bank. Di sisi lain, banyak pula masyarakat yang sengaja menarik seluruh uangnya dari bank karena khawatir hilang akibat krisis. Penarikan besar-besaran ini membuat bank mengalami kesulitan likuiditas.
Banyak bank terpaksa dilikuidasi, termasuk bank yang dimiliki oleh Siti Hardiyanti Rukmana, putri pertama Presiden Soeharto tersebut. Agar tidak menimbulkan efek domino sekaligus membangun kepercayaan untuk para deposan, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat. Mekanismenya melalui dana BLBI.
Namun, ketika deposan lain mendapatkan ganti atas depositonya, CMNP justru tidak mendapatkan haknya. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menolak permohonan pengembalian karena CMNP berafiliasi dengan Bank Yama.
Siti Hardianti Rukmana selain sebagai pengendali Bank Yama, juga menjabat komisaris utama ketika itu. Dia memiliki saham CMNP melalui PT Citra Lamtoro Gung.
“Berdasarkan data resmi di Ditjen AHU, Ibu SHR/Mbak Tutut adalah komisaris utama atau direktur utama PT CMNP, kurun 1987 hingga 1999. Persis saat pemerintah mengucurkan BLBI. Ibu SHR/Mbak Tutut juga komisaris utama dan pengendali Bank Yama, sesuai penyelesaian kewajiban di BPPN,” kata Yustinus lewat akun Twitternya pada 14 Juni 2023.
Tak terima dengan putusan tersebut, Jusuf kemudian menempuh jalur hukum. Mahkamah Agung (MA) pada 15 Januari 2010 memutuskan pemerintah wajib membayar deposito berjangka senilai Rp78,84 miliar dan giro Rp76,09 juta. Selain itu, pemerintah juga harus membayar denda 2 persen setiap bulan dari seluruh dana yang diminta CMNP.
“Negara yang telah mengucurkan dana untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian, tidak punya kontrak dengan pihak tersebut, justru dihukum membayar deposito dan giro, ditambah denda. Tentu kita hormati putusan pengadilan,” Yustinus menambahkan.
Lima tahun berjalan, pemerintah tak kunjung melunasi. Nilai utang terus membengkak hingga mencapai sekitar Rp400 miliar. Pada akhirnya terjadi kesepakatan bahwa pemerintah hanya membayar Rp179,5 miliar.
Saat ini, pelunasan tak juga dilakukan. Jusuf mengaku sudah mengadukan permasalahannya kepada beberapa menteri koordinator, termasuk Mahfud MD. Dia berharap dapat segera menemui Menteri Keuangan Sri Mulyani agar tidak ada kekeliruan informasi sehingga semua dapat diselesaikan dengan baik.
"Saya cuma mohon belas kasihan Bu Menteri (Sri Mulyani). Pak Jokowi tuh sudah kooperatif. Pak Menko Polhukam sudah kooperatif. Mbok, Bu Menteri saya minta tolong, saya cuma rakyat. Kalau memang dibenarkan itu hak saya, mbok dikembalikan," katanya usai menemui Mahfud.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Mahfud mengatakan Presiden Jokowi sudah dua kali mengingatkan kepadanya untuk mengoordinasikan perihal pembayaran utang pemerintah ke masyarakat atau swasta.
Pertama pada 23 Mei 2022 yang ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Menkopolhukam Nomor 63 Tahun 2022 yang isinya perintah meneliti kembali dan menentukan pembayaran terhadap pihak yang mempunyai piutang kepada pemerintah. Kedua, saat rapat internal pada 13 Januari 2023.
“Presiden menyampaikan kalau rakyat dan swasta punya utang kita menagih dengan disiplin, tetapi kita juga harus konsekuen kalau kita yang punya utang harus membayar, itu perintah presiden,” imbuhnya.