Obesitas adalah Ancaman Serius Masa Depan, Masyarakat Harus Semakin Peduli
Muhammad Fajri, pria Tangerang yang memiliki berat 300 kg diketahui sudah mengalami obesitas sejak berusia 8 tahun. (Twitter/@AboutTNG)

Bagikan:

JAKARTA – Warga Pedurenan, Karang Tengah, Kota Tangerang, Muhammad Fajri (27) viral karena obesitas, dan memiliki bobot tubuh hingga 300 kg. Akibat kondisi tersebut Fajri hanya bisa duduk dan berbaring, tak bisa lagi beraktivitas seperti pemuda pada umumnya.

Bahkan, untuk membawanya ke rumah sakit, petugas harus melakukan penanganan ekstra dengan menjebol pintu rumah dan mengangkat Fajri menggunakan forklift.

Kasus itu harus menjadi pembelajaran bahwa obesitas atau kelebihan berat badan bukanlah permasalahan sepele. Terlebih, Fajri diketahui sudah mengalami obesitas sejak usia 8 tahun.

Sebenarnya, bila ada upaya pencegahan sejak dini, masalah itu dapat diatasi. Butuh perhatian bersama, khususnya dari orangtua atau keluarga. Mereka harus memahami obesitas merupakan penyakit yang dapat mengakibatkan komplikasi ke berbagai penyakit kormobid lain seperti jantung, stroke, diabetes mellitus, dan darah tinggi.

Penderita obesitas, seperti dilansir dari laman Kementerian Kesehatan, juga berisiko mengalami penyumbatan pernapasan ketika sedang tidur. Serta, dapat memicu terjadinya kanker kelenjar prostat bagi laki-laki serta kanker payudara dan leher rahim bagi perempuan.

WHO memperkirakan penderita obesitas akan mencakup 51 persen penduduk dunia pada 2035. (Ai Care)

Data World Health Organization (WHO) pada 2017 saja menyebut lebih dari sembilan juta orang meninggal setiap tahun akibat obesitas. Federasi Obesitas Dunia bahkan memperkirakan 51 persen penduduk dunia akan mengalami obesitas pada 2035.

"Sangat mengkhawatirkan melihat tingkat obesitas meningkat paling cepat di antara anak-anak dan remaja," ujar Presiden Federasi Obesitas Dunia, Louise Baur seperti dilansir dari Reuters.

Di Indonesia, kondisinya pun sama. Data prevalensi obesitas pada penduduk usia 18 tahun ke atas cenderung meningkat dari hanya 11,7 persen pada 2010 hingga mencapai 21,8 persen pada 2018. Lalu, kembali naik selama masa pandemi COVID-19.

"Dari data CDC (Centers for Disease Control), pada pasien di rumah sakit, terlihat bahwa terjadi peningkatan 2 kali lipat sebelum pandemi ke pandemi," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Elvieda Sariwati saat temu media bersama Kemenkes pada 2 Maret lalu.

Lebih Baik Mencegah

Tentu penanganan terbaik adalah dengan melakukan pencegahan. Obesitas bukanlah penyakit yang muncul tiba-tiba. Identifikasinya mudah karena ada tanda-tanda yang terlihat mata.

Misal pada anak usia 8 tahun, lazimnya memiliki ciri leher relatif pendek, wajah bulat, pipi tembem, perut membuncit, pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan, serta memiliki bahu rangkap.

Ciri lainnya, seperti dituliskan Ai Care, anak perempuan dengan obesitas biasanya mengalami pubertas lebih dini. Sementara, pada laki-laki dadanya sedikit membusung, payudara membesar, dan penis mengecil karena tertutup lemak.

Bila tanda-tanda tersebut mulai terlihat, segera lah mengatur ulang pola makan anak. Pastikan apa yang dikonsumsi anak adalah makanan sehat dengan gizi seimbang, seperti sayuran dan buah-buahan, karbohidrat, susu, serta protein tinggi.

Ganti camilan yang mengandung gula tinggi atau jajanan kemasan dengan buah segar yang mengandung gula dan serat alami. Berikan camilan sehat dua kali sehari di antara jam makan untuk mencegah anak lapar mata dan menyantap camilan yang tidak sehat.

Yang tak kalah penting, ajak anak beraktivitas fisik dengan berolahraga rutin atau bermain di luar rumah.

“Ada banyak hal yang dapat menyebabkan anak mengalami obesitas, namun utamanya disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik dan terlalu banyak asupan kalori akibat pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Senang mengonsumsi makanan manis yang mengandung lemak dan gula tinggi ikut menjadi salah satu penyebab obesitas pada anak,” tulis Ai Care.

Ilustrasi - Indeks massa tubuh (IMT) dapat dicek dengan menggunakan rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter. (Ai care)

Berat badan ideal anak usia 6-12 tahun menurut CDC adalah:

Laki-laki

  6 tahun: berat badan 21 kg, tinggi badan 116 cm

  7 tahun: berat badan 23 kg, tinggi badan 122 cm

  8 tahun: berat badan 26 kg, tinggi badan 128 cm

  9 tahun: berat badan 29 kg, tinggi badan 134 cm

10 tahun: berat badan 32 kg, tinggi badan 139 cm

11 tahun: berat badan 36 kg, tinggi badan 144 cm

12 tahun: berat badan 41 kg, tinggi badan 149 cm

Perempuan

  6 tahun: berat badan 20 kg, tinggi badan 115 cm

  7 tahun: berat badan 23 kg, tinggi badan 122 cm

  8 tahun: berat badan 26 kg, tinggi badan 128 cm

  9 tahun: berat badan 29 kg, tinggi badan 133 cm

10 tahun: berat badan 33 kg, tinggi badan 138 cm

11 tahun: berat badan 37 kg, tinggi badan 144 cm

12 tahun: berat badan 42 kg, tinggi badan 152 cm

Standar deviasi sekitar 2-3 kg. Jika anak memiliki berat badan kurang atau lebih 2-3 kg dari angka tersebut, maka masih tergolong ideal.

Pada orang dewasa, indeks massa tubuh (IMT) dapat dicek dengan menggunakan rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter. Bila hasilnya:

  • Lebih dari 17,0 berarti kekurangan berat badan tingkat berta atau kurus
  • 17,0 - 18,4 berarti kekurangan berat badan tingkat ringan atau kurus
  • 18,5 - 25,0 berarti normal
  • 25,1 - 27,0 berarti kelebihan berat badan tingkat ringan atau gemuk
  • Lebih dari 27,0 berarti kelebihan berat badan tingkat berat atau gemuk

Ubah Pola Pikir

Pemerintah melalui Permenkes 71 tahun 2015 sebenarnya telah membuat mekanisme tata cara penanggulangan penyakit tidak menular. Baik melalui promosi kesehatan, skrining atau deteksi dini, maupun penanganan kasus.

Promosi kesehatan bisa lewat informasi atau edukasi dalam berbagai platform mengenai gaya hidup sehat termasuk tidak merokok, cukup aktivitas fisik, diet sehat, hingga kesadaran untuk deteksi dini.

Hanya saja, belum terlalu efektif. Seperti yang diakui Elvieda, masih ada sejumlah tantangan dalam menangani obesitas, antara lain dukungan multisektor yang belum optimal.

Mengandalkan pemerintah saja tentu tidak bisa, masyarakat juga harus berpartisipasi aktif, paling tidak dengan mengubah pandangan bahwa gemuk itu bukan sesuatu yang lucu atau menggemaskan, melainkan potensi obesitas. Sehingga nantinya muncul kesadaran masyarakat untuk senantiasa waspada dan tak akan muncul lagi kasus-kasus seperti Muhammad Fajri.