Bagikan:

JAKARTA – Pernyataan pakar hukum tata negara Denny Indrayana perihal informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sistem pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup memunculkan kegaduhan. Menko Polhukam Mahfud MD sampai meminta pihak kepolisian memeriksa Denny. Sebab, menurutnya, putusan MK tak boleh dibocorkan sebelum dibacakan.

Namun, Denny menganggap tidak ada pembocoran rahasia negara dalam pernyataan yang disampaikannya tersebut. Rahasia putusan MK tentu ada di MK. Sedangkan informasi yang diperolehnya bukan dari MK, bukan dari hakim konstitusi ataupun elemen lain di MK.

Dalam pernyataan pada 28 Mei itu, Denny memang tidak menyebut jelas sumber informasi yang diperolehnya, dia hanya mengatakan, “Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi.”

Lagipula, tidak ada kata-kata mengenai mendapat bocoran, yang ada hanya mendapat informasi. Itupun tidak menggunakan istilah ‘informasi dari A1’ sebagaimana frasa yang digunakan dalam twit Menkopolhukam, Mahfud MD.

“Ini perlu saya tegaskan supaya tidak ada langkah mubazir melakukan pemeriksaan di lingkungan MK, padahal informasi yang saya dapat bukan dari pihak-pihak di MK,” kata Denny dalam siaran pers pada 30 Mei 2023.

Bila benar MK memutuskan kembali ke sistem proporsional tertutup, maka pemilih nantinya hanya memilih tanda gambar partai saja, bukan nama atau foto calon. (Antara)

Denny menganggap apa yang disampaikannya hanya sebagai pengawasan publik agar MK lebih berhati-hati dalam memutus perkara yang sangat penting dan strategis tersebut.

Bila benar MK memutuskan kembali ke sistem proporsional tertutup, maka pemilih nantinya hanya memilih tanda gambar partai saja seperti pada Pemilu era Orde Baru. Dampaknya bisa jadi akan menimbulkan kekacauan persiapan Pemilu.

Banyak partai yang harus mengubah daftar bakal calon legislatifnya. Bukan tidak mungkin pula akan banyak calon legislatif yang mundur karena tidak mendapatkan nomor urut. Sebab, perihal sosok yang menjabat sebagai anggota legislatif, mekanisme partai lah yang menentukan.

“Ingat, putusan MK bersifat langsung mengikat dan tidak ada upaya hukum lain sama sekali. Karena itu, ruang untuk menjaga MK agar memutus dengan cermat, tepat dan bijak hanyalah sebelum putusan dibacakan di hadapan sidang terbuka Mahkamah,” ucap Denny.

Kelebihan dan Kekurangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan satu-satunya partai yang sangat mendukung penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto bisa menekan biaya politik dan meminimalisasi kecenderungan dominasi para pengusaha di struktur anggota legislatif.

Sebab tak dapat dipungkiri, biaya politik di Indonesia terlampau tinggi. Tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai pejabat. Pada akhirnya, berdampak ke kualitas pejabat terpilih.

Para wakil rakyat, dan para pejabat pusat dan daerah yang dipilih dengan sistem terbuka tentu sulit mengabdi untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Sebab, mereka sudah tersandera oleh beban untuk mengembalikan biaya politiknya.

Pemilu secara proporsional terbuka, menurut guru besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas, pun telah mengamputasi kelembagaan partai politik. Sebab, meski sebagai peserta pemilu legislatif, tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang.

Akibatnya partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, idiologi, kaderisasi, dedikasi, dan kompetensi menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Unsur itu sudah tergantikan dengan demokrasi elektoral, pragmatis, short cut dan ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal.

Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. (Wikipedia)

Hafid Abbas mengungkapkan itu di hadapan pimpinan sidang Ketua MK Anwar Usman saat sidang lanjutan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tetang Pemilu pada 12 April 2023.

“Dengan keadaan seperti itu, partai politik tidak lagi berdaya dalam menjalankan perannya, misal menyiapkan kaderisasi terbaik bangsa, melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya, dan seterusnya,” kata Hafid.

Senada juga dengan pernyataan PDI Perjuangan yang siap membuka peluang untuk para akademisi bisa menjadi calon legislatif pada Pemilu 2024. Menurut Hasto, “Kami perlu pakar-pakar pertahanan, para pakar diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di Komisi I DPR RI, juga pakar-pakar pertanian di komisi IV.”

Kelebihan lainnya, sistem proporsional tertutup membantu menciptakan representasi yang lebih adil bagi berbagai kelompok dan memungkinkan partai-partai kecil mendapatkan perwakilan.

Dari sisi pemilih juga tidak merepotkan. Kemudian secara teknis pun lebih meringankan panitia pelaksana Pemilu karena proses rekapitulasi suara lebih mudah.

Indonesia pernah menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999.

Surat suara dalam Pemilu 2019 yang menganut sistem terbuka. (Antara/Adeng Bustomi)

Kendati begitu, di balik berbagai kelebihan tersebut, banyak kalangan justru menganggap sistem proporsional tertutup justru menghidupkan oligarki dalam tubuh partai politik. Pemilih juga tidak memiliki kendali atas calon wakilnya yang akan duduk di parlemen.

“Bukan tidak mungkin nantinya bisa muncul anaknya ketua umum partai, istrinya, dan kerabat-kerabat lainnya. Sebab, tidak seluruh partai politik sudah mereformasi diri. Belum tepat diterapkan saat ini,” ucap pengamat politik Al Azhar, Ujang Komarudin kepada VOI pada 30 Mei 2023.

Mengutip pernyataan Syamsuddin Haris dalam buku ‘Menuju Reformasi Partai Politik’, apapun sistemnya, selama partai politik belum memiliki standar integritas untuk para politisi dan kadernya, jangan harap sistem pemilu akan berjalan efektif.

Contoh nyata yang sangat terlihat saat ini, belum semua partai politik memiliki sistem kaderisasi yang baku, dalam arti bersifat inklusif, berkala, berjenjang, dan berkesinambungan. Serta sistem rekrutmen yang terbuka, demokratis, akuntable, dan berbasis kaderisasi.

Akibatnya, kompetisi pemilu dan pilkada menjadi pasar bebas, sehingga siapapun bisa menjadi caleg pemilu ataupun paslon pilkada asalkan populer, memiliki modal finansial yang cukup, serta mempunyai kedekatan personal dengan pimpinan partai.

“Tanpa reformasi parpol dan sistem kepartaian, demokrasi kita tak lebih sebagai demokrasi elektoral yang bersifat prosedural belaka,” kata Syamsuddin.

Sulit menemukan sosok-sosok yang memiliki visi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.