25 Tahun Reformasi: Pekerjaan Rumah yang Tak Kunjung Selesai
Suasana kegembiraan meliputi mahasiswa di depan televisi di Gedung MPR/DPR ketika Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998. (Antara/Saptono/RF02/hp/asf/hp)

Bagikan:

JAKARTA – Kerusuhan massal yang terjadi serentak pada 13-15 Mei 1998 membuat kondisi Jakarta dan sejumlah wilayah penyangga Ibu Kota lumpuh total. Rakyat bertindak anarkis. Pusat-pusat perbelanjaan terbakar, penjarahan terjadi di mana-mana, bahkan diketahui sampai menyasar ke rumah-rumah penduduk.

Presiden Soeharto yang tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke Kairo, Mesir bergegas kembali ke Tanah Air pada 15 Mei 1998 dan akhirnya memutuskan lengser dari jabatannya sebagai Presiden satu pekan kemudian.

"Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam pidatonya.

Para pengunjuk rasa yang telah menduduki gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998 bersuka cita. Pengumuman itu menjadi penanda runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan titik awal era reformasi.

Andai reformasi cuma menumbangkan Presiden Soeharto, tujuan itu sudah tercapai. Namun agenda reformasi bukan sebatas menggulingkan kekuasaan.

Penjarahan pusat perdagangan Glodok, Jakarta pada kerusuhan Mei 1998 yang diakui Pemerintah Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat. (Twitter/@arbainrambey)

Setidaknya ada 6 poin yang selalu digaungkan. Pertama mengadili Soeharto dan kroninya. Kedua, amandemen UUD 1945. Ketiga, menghapuskan dwifungsi ABRI. Keempat, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kelima, otonomi daerah seluas-luasnya. Keenam, menegakkan supremasi hukum.

Kini, 25 tahun telah berlalu. Apakah agenda reformasi pada 1998 sudah tercapai sepenuhnya?

Subhan S.D dalam bukunya ‘Bangsa Mati di Tangan Politikus’ menilai hanya menghapus dwifungsi ABRI yang menjadi catatan paling positif.

Di zaman Orde Baru, ABRI adalah mesin paling mengerikan. Walaupun lahir dari kandungan rakyat, ABRI justru sering mengarahkan moncong senjata kepada rakyat. Peran ABRI sangat dominan. Bahkan, menguasai panggung politik. Mengisi jabatan-jabatan struktural dari bupati, wali kota, hingga gubernur.

Namun, begitu reformasi, tentara berhasil kembali ke barak, mengurusi pertahanan. TNI bisa dibilang institusi paling sukses menjalankan reformasi.

Sementara, agenda-agenda lainnya belum sepenuhnya berjalan baik. Sebut saja, amandemen UUD 1945. Hingga saat ini tercatat sudah empat kali dilakukan amandemen UUD 1945.

Namun kata Subhan, apakah amandemen tersebut sudah sesuai dengan tuntutan reformasi yang bertujuan menyempurnakan aturan dasar menyangkut tatanan negara, kedaulatan rakyat, perlindungan hak asasi manusia, pola pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, dan eksistensi negara demokratis?

“Amandemen harus diletakkan untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, bukan kepentingan politik,” kata Subhan.

Memang, kata Prof. Dr. Subroto, ada sejumlah perubahan yang bersifat menyempurnakan dalam amandemen UUD 1945, tetapi ada juga beberapa perubahan yang secara fundamental justru menyebabkan bangsa terjerumus dalam krisis ideologi, kekacauan sistem politik dan ketatanegaraan, serta salah arah dalam penyelenggaraan ekonomi.

“Menunjukkan kita seakan-akan tak lagi berpihak pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam dasar negara Pancasila, tetapi lebih mengarah mengagungkan nilai-nilai individualisme. Berkebalikan dari semangat kebersamaan dan keadilan sosial,” kata Subroto seperti yang tertulis dalam bukunya ‘Indonesia di Tanganmu’.

Lalu, agenda otonomi daerah. Otonomi telah membawa daerah-daerah memiliki keputusan yang mandiri. Tidak lagi diatur-atur oleh pemerintah pusat. Namun, ironisnya otonomi melewati jalan paradoks. Otonomi dijadikan komoditas politik, bukan kepentingan daerah. Pemekaran daerah dan Pilkada misalnya, justru makin terjebak dalam politik identitas dan munculnya ego lokal. Menjauh dari karakter negara kesatuan.

Hanya Isapan Jempol

Begitupun pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta agenda menegakkan supremasi hukum. Selama 25 tahun reformasi, koruptor malah semakin merajalela. Bergentayangan dari pusat kekuasaan hingga raja-raja kecil di daerah.

Menkopolhukam Mahfud MD saja tegas menyatakan, korupsi yang terjadi saat ini jauh lebih buruk jika dibandingkan masa Orde Baru. Meski era Orde Baru sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tetapi bentuknya lebih terkoordinasi.

"Bapak ingat tidak dulu, tidak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim tidak berani korupsi, gubernur, pemda, bupati tidak berani," tutur Mahfud.

Pada era reformasi, korupsi dilakukan secara individu dan semakin meluas.

“DPR korupsi sendiri, MA korupsi sendiri, MK hakimnya korupsi, kepala daerah, DPRD ini semua korupsi sendiri-sendiri,” tambahnya.

Alih-alih memberi efek jera, penindakan korupsi masih sangat lemah. Rata-rata hukuman pelaku pada 2021, berdasar data ICW, hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi dengan sejumlah putusan remisi atau putusan bebas bersyarat, yang artinya narapidana bebas setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya, dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

Kejaksaan mengeksekusi Pinangki Sirna Malasari ke lapas pada Senin, 2 Agustus 2021. Pinangki kemudian mendapat remisi atau potongan masa hukuman selama 3 bulan sebelum akhirnya bebas bersyarat pada 6 September 2022. (Antara/Reno Esnir/aww)

“Jangan harap korupsi bisa diberantas jika hukum belum benar-benar adil dan kekuasaan tidak ada keadaban,” kata Subhan.

Artinya, reformasi belum berjalan secara tuntas. Otoritarian memang ditumbangkan, tetapi reformasi gagal membangun demokrasi yang substantif. Demokrasi diagungkan bukan untuk keadaban berpolitik. Demokrasi hanya dijadikan kendaraan untuk berebut kekuasaan, bukan untuk memberdayakan dan menyejahterakan rakyat.

Sudah lima presiden berkuasa sejak era reformasi, tetapi masalah negeri ini tetap tak juga berubah. Bahkan, semakin mengkhawatirkan.

“Politik gaduh, ekonomi goyah, hukum seolah-olah adil, korupsi gagal diberantas, moralitas mengkhawatirkan, bangsa tak berkarakter, dan banyak lagi. Itulah potret generasi sekarang,” imbuh Subhan.