JAKARTA - "Apa cita-cita kita sebagai bangsa?" Pertanyaan ini dilontarkan Prof. Dr. Subroto dalam bukunya ‘Indonesia di Tanganmu’. Perilaku anak bangsa yang sudah melenceng jauh dari nilai-nilai Pancasila memunculkan dugaan, jangan-jangan banyak yang sudah melupakan atau benar-benar tidak mengetahuinya.
Jika mengaku sebagai bangsa yang berketuhanan, sudah semestinya kehidupan mengarah ke perdamaian, saling menghormati, dan saling memelihara cinta kasih. Namun, realitasnya perilaku bangsa ini kerap kali tidak memperlihatkan cinta kasih sesama manusia sebagai inti ajaran dari setiap agama.
“Kita bahkan makin sering melihat adanya pihak-pihak yang sengaja menyulut konflik dan menebar kebencian kemana-mana dengan dalih membela Tuhan dan agama-Nya,” kata Subroto.
Jika bangsa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengapa ruang peradilan justru mempertontonkan lakon-lakon ketidakadilan, dan lembaga-lembaga politik pemerintahan memproduksi hukum dan kebijakan yang kerap kali tidak menunjukkan kepekaan pada keadaban, keadilan, dan kemanusiaan?
“Orang mengistilahkan hukum kita masih tajah ke bawah, tumpul di atas yang artinya hukum berlaku kejam dan tajam bagi si miskin, tetapi begitu permisif dan lentur bagi si kaya atau si penguasa. Ini jelas bukan gambaran kemanusiaan,” Subroto melanjutkan.
Kemanusiaan berarti penghormatan terhadap sesama manusia apa pun latar belakangnya. Yang adil dan beradab adalah manifestasi dari kemanusiaan yang sejati. Sedangkan beradab berarti menghormati sesama manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Menghormati sesama manusia secara setara. Juga berarti saling asah, asih, dan asuh di antara sesama manusia.
Jika bangsa Indonesia menjunjung persatuan dan harmoni, mengapa perbedaan keyakinan dan etnis masih saja menyebabkan ribuan nyawa melayang dan ribuan lagi terusir dari tanah kelahiran, menjadi pengungsi di negeri sendiri?
Padahal jelas, persatuan Indonesia adalah satu-satunya cara menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara yang kuat.
Lalu, jika bangsa Indonesia menghargai sistem permusyawaratan yang bijaksana, mengapa demokrasi yang sekarang ada justru manipulatif dan memperlakukan masyarakat tak lebih dari angka-angka yang bisa dibeli saat Pemilu?
Mengapa pula sistem perekonomian yang dikembangkan justru menjual segala-galanya kepada pemilik modal dalam sistem pasar bebas dunia jika bangsa hendak meraih keadilan sosial bersama?
Tengok amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang terjadi pada 1998 hingga 2002. Menurut Subroto, memang ada sejumlah perubahan yang bersifat menyempurnakan, tetapi ada juga beberapa perubahan yang secara fundamental justru menyebabkan bangsa terjerumus dalam krisis ideologi, kekacauan sistem politik dan ketatanegaraan, serta salah arah dalam penyelenggaraan ekonomi.
BACA JUGA:
“Menunjukkan kita seakan-akan tak lagi berpihak pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam dasar negara Pancasila, tetapi lebih mengarah mengagungkan nilai-nilai individualisme. Berkebalikan dari semangat kebersamaan dan keadilan sosial,” kata Subroto.
Pancasila dirumuskan oleh para tokoh pendiri bangsa dengan tujuan akhir memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah cita-cita yang hanya terwujud apabila keempat dasar pemikiran yang tertuang di sila permata hingga keempat menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam kehidupan berbangsa.
Itu, kata Subroto, harus menjadi renungan. “Bila hal-hal seperti di atas dibiarkan dan tak dianggap sebagai sesuatu yang serius sebagai penyimpangan dari cita-cita bangsa, saya sungguh khawatir akan menjadi seperti apa kehidupan bangsa ini pada 100 tahun usianya nanti.”
Pancasila Sebagai Etika Berpolitik
Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo, dalam opininya di Kompas, juga mengungkapkan kegelisahan serupa mengenai kondisi bangsa saat ini yang minim adab dan etika. Mudah terprovokasi isu-isu politik hingga rentan perpecahan.
Terutama, menjelang Pemilu 2024. Kencangnya suhu politik yang dibangun serta kuatnya terpaan media menjadikan komunikasi politik begitu dinamis, fluktuatif, sekaligus sarat muatan provokatif.
Sejatinya, berpolitik itu bukan asal bicara, karena ada suara yang mesti dipertanggungjawabkan. Berkomunikasi politik harus disadari dan didasari dengan kesadaran tinggi terhadap makna kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan kebangsaan kita.
Andai dinamika itu terus dibiarkan dan provokasi bebas berkembang, persatuan dan kesatuan Indonesia akan terganggu. Ini perlu diwaspadai.
Itulah mengapa, Kunto meminta semua pihak harus lebih mengedepankan nilai-nilai Pancasila, khususnya nilai persatuan kesatuan, keberadaban, dan keadilan, serta etika.
“Kita tidak mempersoalkan siapapun yang bertarung dan siapapun kontestan. Selagi memenuhi syarat, silahkan turun ke gelanggang. Mau main jujur? Bagus dan memang harus begitu. Mau main curang? Ada aturan yang akan membatasi,” kata Kunto
Ketika permainan curang tersebut sudah membuat penonton heboh atau bahkan membuat penonton menjadi resah dan tidak nyaman, maka “terapi” khusus harus diterapkan. Aturan hukum akan jadi acuan dan TNI siap tampil sebagai pengawal pada proses itu.
Mari jadikan Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai landasan berpikir dan bertindak dalam kehidupan berbangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2023, semangat untuk bangkit.